Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Divestasi Saham PT. Freeport: Menegasi Sisi Kemanusiaan
Pembelian 51,2% saham Freeport oleh PT Inalum sudah sepatutnya disyukuri dan dirayakan.
Editor: Hasanudin Aco
Agensi ini menegaskan bahwa PTFI melanggar "The Foreign Assistance Act 1961" yang mewajibkan perusahaan yang berinvestasi di luar negeri untuk tidak melakukan tindakan yang dapat merusak lingkungan atau menyebabkan kerusakan terhadap hutan di daerah tropis (NAJ Taylor, Aljazeera, 19 Oktober 2011).
Selain itu, PTFI juga diduga melanggar "The Foreign Corrupt Practice Act" dengan terus menerus memberi dana terhadap institusi TNI yang jumlahnya mencapai 12 milyar dollar.
Di bulan Februari 2006, PTFI adalah perusahaan MNC yang pertama yg di "blacklist" oleh pemerintah Norwegia karena alasan pengelolaan lingkungan. Meski mendapat sorotan internasional yang sangat menganggu reputasinya, PTFI tetap bertahan beroperasi dengan keuntungan besar bahkan membuat beberapa kepala negara tak berkutik.
Dengan KK yang semakin menua, PTFI bukannya melemah. Ia semakin sakti menantang negara berdaulat bahkan mengancam berselisih di arbitrase internasional apabila KK-nya tidak diperpanjang.
Bukti kesaktian PTFI yang sangat dahsyat adalah menggiring pemerintah Indonesia kedalam aksi korporasi pengambialihan saham dan meloloskan diri dari kewajiban membayar kerugian negara Rp 185 triliun akibat kerusakan lingkungan, serta lolos dari jerat hukum atas penggunaan ribuan hektar hutan lindung tanpa izin.
Gempita keberhasilan aksi korporasi Inalum seakan memberi kesan 'business as usual'. Catatan hitam sepak terjang PTFI seakan dilupakan seiring dengan memudarnya harapan orang-orang Amungme dan Kamoro untuk menjadi tuan di negerinya sendiri.