Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Divestasi Saham PT. Freeport: Menegasi Sisi Kemanusiaan
Pembelian 51,2% saham Freeport oleh PT Inalum sudah sepatutnya disyukuri dan dirayakan.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Sawedi Muhammad
Sosiolog Universitas Hasanuddin
TRIBUNNEWS.COM - Pembelian 51,2% saham Freeport oleh PT Inalum sudah sepatutnya disyukuri dan dirayakan.
Betapa tidak, setelah di bawah penguasaan asing selama setengah abad, Indonesia melalui PT Inalum akhirnya menjadi pemegang saham mayoritas.
Akan tetapi, beban berat menunggu di depan mata; beban kemanusiaan yang sangat nyata.
Sayangnya beban berat ini tertutupi oleh gegap gempita dan selebrasi atas finalnya pembelian saham pada tanggal 22 Desember yang lalu.
Beban kemanusiaan yang telah menjadi lembaran hitam sejarah kapitalisme moderen ini, nampaknya akan berlanjut menjadi tragedi kemanusiaan abad 21 yang sangat memiriskan, juga memilukan.
Kalkulasi ekonomi
Secara ekonomis, kepemilikan saham dari 9,36% menjadi 51,2% sudah tentu berimplikasi pada kenaikan dividen yang akan diterima oleh Inalum setiap tahunnya. Diperkirakan setelah tahun 2022 PTFI akan memperoleh laba bersih lebih dari Rp 29 triliun per tahun.
Selain itu Pemda Papua akan kebagian 10% saham. Dividen yang diterima setiap tahunnya sekitar Rp 1,45 triliun setelah tahun 2022.
Baca: Rhenald Kasali: Mengapa Freeport Harus Kita Beli Sahamnya
Dari 10% saham Pemda Papua tersebut dibagi menjadi 7% untuk Kabupaten Mimika termasuk di dalamnya untuk hak ulayat dan 3% untuk Provinsi Papua.
Selain saham, pemerintah daerah juga akan mendapatkan 6% dari laba bersih PTFI. Seluruh manfaat finansial tersebut di luar bantuan CSR dan pemberdayaan masyarakat serta pendapatan pajak daerah dan royalti (detikfinance, 22 Desember, 2018).
Meski kalkulasi ekonomi tersebut masih di atas kertas, tantangan pendistribusian dan pengalokasian keuntungan perlu penjabaran teknis yang tidak ringan.
Benarkah proporsi saham untuk daerah akan dipergunakan untuk membangun masyarakat Papua? Hasil survey ICW dan lembaga Polling Center 2017 menunjukkan bahwa tingkat korupsi di Papua paling tinggi.
Penyebabnya adalah tata kelola pemerintahan mulai dari kurangnya transparansi sampai pada lemahnya akuntabilitas penyelenggara negara (Harian Papua, Agustus, 2017).