Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Universitas Tinggal Menyiapkan ‘Battle Ground’ untuk Belajar Mahasiswa
Prof Dr Sutjipto sepakat bila di Universitas hasil konversi, ilmu pendidikan sangat penting ditempatkan menjadi core yang mewarnai semua kegiatan IKIP
Editor: Dewi Agustina
"Ilmu pendidikan bisa kita kembangkan karena ada satu fakultas yang konsentrasi pada ilmu pendidikan itu. Yang dinamakan saling memperkaya itu terjadi antara ahli-ahli yang non kependidikan dengan yang kependidikan sehingga menunjukkan sinergi yang akan memperbaiki sistem pendidikan nasional," terang Prof Dr Sutjipto.
Sejalan dengan pendekatan Professional Teacher Education, para guru hasil lulusan Universitas hasil transformasi memiliki tanggung jawab menerjemahkan pengetahuan non kependidikan berupa budaya penelitian kepada peserta didik sesuai perkembangan usia mereka di SD, SMP, dan SMA.
Menurut Prof Dr Sutjipto, langkah tersebut penting karena minimnya penelitian pendidikan yang asli Indonesia salah satu penyebabnya adalah karena budaya penelitian kita tidak tumbuh dari sekolah dasar.
Itu penyebab ilmu pendidikan kita hidup segan mati pun ragu-ragu.
"Kultur penelitian itu tiba-tiba saja ada di perguruan tinggi. Kalau di negara lain, itu dari SD sudah didorong untuk bertanya, dan menjawab mengapa sesuatu itu terjadi. Membandingkan fenomena yang dialami, cari literatur itu mulai dari SD. Jadi kultur penelitian itu tidak bisa tiba-tiba nongol," kata Prof Dr Sutjipto.
Mengingat pentingnya motivasi belajar, lanjut Prof Sutjipto, maka Lembaga Professional Teacher Education di universitas metamorfosis IKIP perlu mengambil alih tanggung jawab untuk membangkitkan motivasi belajar para murid.
Menurut Prof Dr Sutjipto, motivasi belajar tersebut perlu diperkenalkan kepada para calon guru dengan membangun 3 hal: visi yang dibangun murid selama mengikuti perkuliahan, tanggung jawab murid untuk mewujudkan visinya, dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia.
Ketiga hal tersebut perlu disinergikan dengan kebijakan program studi (prodi) perkuliahan dari semula kaku menjadi fleksibel seperti diusulkan Aktivis dan Pengamat Pendidikan UNJ Jimmy Ph Paat yang merujuk pola yang berlaku di Perancis.
Prof Dr Sutjipto mendukung usulan tersebut karena bertujuan memberikan motivasi kepada mahasiswa untuk mengejar tujuan kuliahnya dengan belajar keras.
"Pendekatan ini berarti universitas perlu menyiapkan battle ground untuk belajar mahasiswa," kata Prof Dr Sutjipto.
Namun, menurutnya, tidak bisa bebas sebebas-bebasnya.
"Intinya kita menyesuaikan program itu dengan kebutuhan-kebutuhan real. Jadi kalau misalnya di Prodi ada mata kuliah yang tidak perlu, bisa diganti dengan mata kuliah lain, yang memang relevan sesuai dengan cita-cita mahasiswa yang ingin menjadi apa. Tidak bebas sama sekali untuk mengambil, tapi itu di-design programnya bersama-sama dengan advicer-nya (penasehat akademis), untuk inilah saya ingin mengambil ini selama saya belajar. Ini akan saya ambil karena sesuai tujuan kuliah saya. Jadi saya perlu mata kuliah-mata kuliah seperti ini," jelas Prof Dr Sutjipto.
Konsekuensinya, tambah Prof Sutjipto, administrasi universitasnya harus kuat.
Jadi tidak seperti yang dikeluhkan Ibu Budiarti (dosen senior peserta diskusi).
Itu mungkin sekali sekarang, karena teknologi sudah maju.. Sebab schedulling misalnya bisa dengan program komputer yang canggih. Yang bisa match, antara kemampuan dosen, waktu dosen, dengan kebutuhan mahasiswa.