Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Waspadai Aksi Lone Wolf Pasca Bom Bunuh Diri di Sibolga
Aksi tersebut murni dilakukan karena ideologi radikal yang diyakini sehingga bunuh diri dianggap sebagai suatu kebenaran dan
Editor: Rachmat Hidayat
Oleh Stanislaus Riyanta, Pengamat intelijen dan terorisme
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Aksi bom bunuh diri yang terjadi di Sibolga sebagai rangkaian penangkapan terduga di teroris di benerapa tempat di Sumatera tidak ada hubungan politik dengan Pemilu 2019.
Aksi tersebut murni dilakukan karena ideologi radikal yang diyakini sehingga bunuh diri dianggap sebagai suatu kebenaran dan jalan yang harus dilakukan.
Orang atau kelompok dengan paham radikal mempunyai keyakinan kuat bahwa kekerasaa adalah cara untuk mencapai tujuan. Bahkan keyakinan yang sangat kuat tersebut mampu mendorong mereka untuk melakukan bunuh diri.
Ada atau tidak ada peristiwa politik, kelompok radikal tetap melakukan aksi demi mewujudkan tujuannya. Namun yang patut menjadi perhatian adalah kelompok radikal ini bisa memanfaatkan titik rawan yang terjadi pada masa pemilu 2019 sebagai celah untuk melakukan aksinya.
Titik rawan yang bisa terjadi adalah konsentrasi aparat keamanan yang tertuju pada momen Pemilu 2019, sehingga kelompok radikal akan merasa labih longgar atau lebih berani untuk melakukan aksinya.
Faktor yang bisa menjadi pendorong aksi teror di Indonesia adalah dinamika global terkait kelompok radikal transnasional. Terdesaknya ISIS di Suriah memicu simpatisan ISIS untuk melakukan aksi di daerah atau negara masing-masing.
Baca: Tiga Wanita di Lingkaran Jaringan Terduga Teroris Sibolga
Teori balon berlaku dalam fenomena aksi teror. Terdesaknya kelompok radikal di Timur Tengah akan mengembangkan aksi teror di daerah atau negara lain. Bagi nagara yang warganya menjadi pendukung ISIS harus mewaspadai hal ini, terutama jika diketahui ada warganya yang hijrah ke Timur Tengah dan kembali lagi.
Adaptasi pola gerakan kelompok radikal yang sekarang bergerak dalam tingkat keluarga, harus diwaspadai. Gerakan ini akan sulit diketahui karena terjadi pada ruang dan lingkungan yang privat. Doktrinasi dilakukan kepada anggota keluarga secara intens dan akan lebih cepat karena pengaruh orang yang dipercaya dan harus ditaati.
Masyarakat harus meningkatkan radar sosialnya untuk mendeteksi dan mencegah sejak dini adanya keluarga-keluarga radikal yang berpotensi menjadi pelaku teror. Aksi bom bunuh diri di Surabaya (Mei 2018) dan bom bunuh diri di Sibolga (Maret 2019) menunjukkan bahwa radikalisme pada keluarga sudah terjadi di Indonesia dan membahayakan.
Baca: Ini Kesaksian Korban Ledakan Bom Sibolga
Aksi teror lone wolf juga patut diwaspadai. Pelaku teror lone wolf sulit dideteksi karena tidak berada dalam kelompok sehingga tidak memunculkan komunikasi dan interaksi yang bisa dipantau. Potensi aksi teror lone wolf ini paling memungkinkan dideteksi dan dicegah dini oleh keluarga atau orang terdekat.