Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Haruskah Mempertahankan Pemilu Serentak?
Fakta pasca pemilu serentak nasional 17 April 2019 ini harus dimaknai sebagai tragedi nasional.
Editor: Dewi Agustina
Penulis: Osbin Samosir
Pengajar Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia, Jakarta
HINGGA Sabtu 4 Mei 2019, tercatat sejumlah 440 orang petugas KPPS yang meninggal dunia, sementara jumlah petugas KPPS yang sakit bertambah menjadi 3.788 orang.
Sehingga total petugas yang sakit dan meninggal dunia sebanyak 4.228 orang.
Fakta pasca pemilu serentak nasional 17 April 2019 ini harus dimaknai sebagai tragedi nasional.
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) adalah kelompok yang dibentuk oleh Panitia Pemungutan Suara untuk melaksanakan pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Jatuhnya korban sebanyak itu memaksa pemilu serentak ke depan harus diperbaiki.
Untuk pertama kalinya, sejak Era Reformasi, Indonesia memutuskan untuk melakukan Pileg dan Pilpres langsung dalam hari dan waktu yang sama demi penghematan anggaran.
Padahal sampai sekarang belum ada laporan resmi pemerintah atau penyelenggara pemilu berapa persen persis penghematan anggaran sejak Pilkada serentak dilakukan 2015, 2017 dan 2018 dilaksanakan.
Masalah Pemilu Nasional Serentak 2019
Dibandingkan Pilkada serentak, Pemilu Nasional serentak 2019 jauh lebih rumit.
Pilkada hanya menyediakan satu atau dua surat suara di TPS yakni surat suara Gubernur atau/dan Bupati/Wali Kota, formatnya juga sangat sederhana sehingga dianggap lebih mudah.
Penyelenggaraannya sangat sederhana. Hasilnya Pilkada serentak 2015, 2017 dan 2018 merupakan pekerjaan yang mudah bagi KPPS dan PPS di tingkat TPS.
Setidaknya ada dua persoalan dalam Pemilu Nasional serentak Rabu 17 April lalu.
Pertama, tensi tinggi pilpres dengan isu-isu hoaks telah menyedot habis energi positif penyelenggara di lapangan (KPPS dan PPS) yang mengupayakan pemilu sebagai pesta rakyat.