Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Haruskah Mempertahankan Pemilu Serentak?
Fakta pasca pemilu serentak nasional 17 April 2019 ini harus dimaknai sebagai tragedi nasional.
Editor: Dewi Agustina
Setidaknya ada dua usulan perbaikan yang mungkin bisa ditempuh mengurani risiko kehilangan nyawa seperti yang terjadi di Pemilu serentak Nasional 2019.
Pertama, mengembalikan pemilu serentak ke semangat awal yakni model pemilu serentak nasional untuk memilih Presiden, DPR RI, bersama DPD RI, dan pemilu serentak nasional untuk Gubernur bersama DPRD Provinsi, serta Bupati/Walikota bersama DPRD Kabupaten/Kota.
Model ini di masing-masing level baik pusat maupun lokal akan terbentuk pemerintahan kuat dan efektif.
Model ini diharapkan akan menghindari pemerintahan terputus secara vertikal (hubungan pusat-daerah).
Gambaran konkret pemerintahan terputus hasil Pemilu 2009 lalu yakni presiden RI dari Partai Demokrat, gubernur Jawa Tengah dari PDI Perjuangan, bupati Pekalongan dari Partai Golkar.
Kendala dari peta politik seperti itu, sulit diharapkan pemerintah nasional dan daerah efektif menjalankan program-programnya karena masing-masing memiliki kepentingan politik berbeda.
Kedua, tetap mempertahankan format pemilu serentak 5 hingga 7 surat suara di setiap TPS tetapi pemilih hanya memilih partai politik.
Partai politik berwenang menentukan calon legislatif terpilih.
Format ini mengembalikan martabat partai politik untuk melaksanakan fungsi kaderisasi internal.
Fungsi kaderisasi partai politik akan diuji sejauh mana partai berhasil mengusung calon-calon yang sesuai harapan public hasil dari pembinaan internal partai bukan calon-calon yang terkenal di mata public karena berprofesi sebagai artis atau bintang film, sebagaimana selama ini banyak dikeluhkan.
Bisa saja nama-nama caleg disebut di kertas suara pemilih, tetapi yang menentukan siapa yang menjadi wakil partai duduk di kursi legislatif murni kewenangan partai.
Upaya ini sekaligus memutus mata rantai pengebirian wewenang partai yang selama ini terjadi atas penggunaan sistem proporsional terbuka sejak Pemilu Legislatif 2009.
Penyelenggara pemilu tidak akan rumit menghitung perolehan suara karena semua suara menjadi perolehan partai politik, beban penghitungan suara jauh lebih ringan karena KPPS/PPS hanya menghitung perolehan suara partai politik.
Model ini akan lebih mendidik rakyat untuk percaya kepada partai politik yang selama ini hilang sejak rejim Orde Baru akibat system pemilu perwakilan legislatif memilih eksekutif.
Mengembalikan kepercayaan rakyat kepada partai politik adalah salah satu agenda penting setiap partai politik di Pemilu nasional serentak 2024 nanti.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.