Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Semua Joker . . .
Sebagaimana prinsip bisnis pada umum, film nasional harus mencari jalan lain sendiri. Harus menempuh pemecahan sendiri.
Editor: Malvyandie Haryadi
Oleh Wina Armada Sukardi
TRIBUNNERS - Saya ke Senayan City, dan masuk ke Cinema XXI. Luar biasa! Dari delapan layar atau studio yang tersedia, semuanya memutar film Joker❗ Film main setiap setengah jam sekali, bergantian di masing-masing studio atau layar. Saya belum mengecek di studio lain, serupa atau tidak.
Kok bisa? Monopoli? Persaingan bebas? Tersungkurnya UU Perfiman? Tak ada film nasional yang sedang laris? Permintaan penonton membludak? Atau apa?
Satu alasan yang jelas: aspek binis. Keuntungan ekonomis. Pemutaran total film Joker menghasilkan lebih banyak keuntungan.
Memberikan laba yang lebih tambun. Lantaran film dianggap sebagai murni barang dagangan, makan hitunganya, tidak boleh tidak, hanya untung rugi.
Selama masih menguntungkan, Joker bakal terus “digeber” sampai tuntas. Penonton memang masih terus luber. Siapa yang berani “memotong” dengan film lain dengan jaminan keuntungan yang sama?
Rumusnya jelas: bioskop itu lembaga ekonomi. Profit oriented. Bukan lembaga sosial, dan hampir gak ada urusannya dengan kebudayaan di luar matematik untung rugi. Maka munculah fenomena seluruh layar buat Joker.
Adapun yang lain-lain “bukan variabel” yang perlu diperhitungkan. Bahasa kasarnya: selama memberi keuntungan, yang lain emang gue pikirin . Ini momentum yang tidak boleh dilepaskan dari hitungan bisnis. Potensi penonton harus dikuras sampai saat sesaat-saatnya. Sampai tuntas.
Pada titik ini dinilai tak relevan lagi berbicara keperluan dan kepentingan film nasional. Sepanjang film nasional dianalisis tak memberikan keuntungan yang sama atawa lebih, film nasional ya harus rela minggir dulu, sejenak atau lama.
Alasannya juga klasik: siapa yang mau mengganti keuntungan yang akan diperoleh kalau film diganti? Kalau terjadi kerugiaan dari seharunya dapat keuntungan ( opportunity lost), memang ada yang mau dan berani ganti? Kalau tidak ada, makanya diharap tak banyak cingcong . Itu realitas yang terjadi. Kenyataan yang ada.
Alasan lain, kan di republik ini ada kesetaraan kesempatan berusaha. Logika yang mereka pakai, jangan dong orang sedang mau untung distop. Gak adil itu. Jadi, selama masyarakat berminat terhadap film Jocker yang melimpahkan laba, sepanjang berlangsung damai dan tertib, tak boleh dihentikan.
Jadi?
Sebagaimana prinsip bisnis pada umum, film nasional harus mencari jalan lain sendiri. Harus menempuh pemecahan sendiri.
Tak dapat dan tak boleh cengeng. Tak boleh hanya mengeluh dan menuding tanpa pemikiran visioner, tanpa jalan keluar.
Pendukung film nasiobal harus berani menyambut takdirnya dengan gagah perkasa. Tak boleh menyerah. Harus smart. Harus tangguh. Harus mampu bersaing.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh, sudah saat kembali ada bioskop yang khusus memutar film nasional. Tak peduli ada film asing yang sedang booming atau tidak, di bioskop ini seluruhnya diputar film nasional. Biarkah film nasional bersaing, baik dengan sesama film nasional maupun dengan film asing.
Bagaimana kalau rugi? Boleh jadi awalnya kemungkinan memang rugi. Tapi kompetisi bakal menghasilkan daya tahan yang kuat.
Kompetisi bakal melahirkan pelaku-pelaku yang tangguh. Lewat kompetisi akan lahir juga resep-resep film nasional yang laku. Juga akan muncul momentum-momentum yang penting.
Di sinilah negara harus hadir. Negara jangan hanya jadi penonton yang bengong belaka. Kita tak menuntut negara berpihak ke film nasional, karena sudah terbukti puluhan tahun negara hampir tak pernah berpihak kepada film nasional.
Apalagi melindungi film nasional. Biarpun negara sudah diberikan amunisi UU Perfilman, negara masih seperti orang linglung tak tahu mau berbuat apa, setidaknya tidak terlihat ingin berbuat lebih dari yang selama ini terlibat.
Kita memang ingin negara hadir, tetapi tak usahlah mengharapkan terlalu banyak dulu.
Lalu? Kita hanya ingin negara hadir dengan memikirkan keuntungan dari film nasional secara cerdik. Smart. Kita juga menghatap negara hadir dengan proposional dalam semua hal.
Pajak masuk film asing harus disesuaikan dengan biaya produksi film mereka. Selama ini pajak film asing seakan diberi keringan. Kalau zaman sileluit, pajak impor film dihitung per sentimer panjang, sekarang dihitung per copy dengan dasar yang sangat lemah.
Walhasil pajak film impor dihitung teramat sangat murah! Dari segi bisnis, selama ini negara sudah dirugikan begitu banyak.
Kemudian, negara juga harus tegas tidak boleh ada politik dumping harga. Berapa biaya produksi film asing? Seharusnya dengan biaya begitu tinggi mereka tidak boleh “jual” karcis sama dengan karcis film nasional yang biaya produksi jauh lebih kecil.
Harga tiket film asing harus lebih tinggi. Kalau dengan harga dumping seperti sekarang, negara telah bertindak tidak adil. Negara juga sudah dirugikan amat banyaaaakkkk. Itu sama saja artinya negara tidak hadir.
Banyak lagi jalan agar kehadiran negara lebih bermakna untuk film nasional. Negara harus punya niat dan strategi bisnis. Sebagai barang dagangan, negara tidak perlu khawatir memperlakukan film asing juga dari aspek dagangan.
Dari aspek bisnis. Dari aspek pemasukan buat negara.
Tanpa upaya yang berarti, Joker akan terus merajalela. Joker akan terus membuat kita stress. Joker bakal senantiasa menertawakan kita....*
(WINA ARMADA SUKARDI,Kritikus Film)