Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pemberian Anugerah Al-Azhar Mesir Buat TGB Adalah Kado Terindah Al-Azhar Untuk TGB dan Indonesia
Jejak-jejak tokoh pentolan al-Azhar dari Nusantara tersebut dalam memperjuangkan Islam moderat sangat terang benderang.
Editor: Husein Sanusi
Kado Terindah Al-Azhar untuk TGB dan Indonesia
KH. Imam Jazuli, Lc. MA.*
Hubungan erat ulama Nusantara dengan jaringan Timur Tengah sudah menjadi semacam sunnah. Setidaknya, uluma-ulama Nusantara jebolan Universitas al-Azhar, Mesir, sudah banyak berjasa membentuk identitas Islam Nusantara. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH. Musthafa Bisri (Gus Mus), dan M. Quraish Shihab adalah sekelumit contohnya.
Jejak-jejak tokoh pentolan al-Azhar dari Nusantara tersebut dalam memperjuangkan Islam moderat sangat terang benderang. Misalnya, tahun 2017 dalam Konferensi Multaqa Nasional IV Alumni Al-Azhar, Lombok, M. Quraish Shihab mengatakan, “kewarganegaraan tanpa membedakan suku, agama, keyakinan adalah salah satu prinsip ajaran Islam dan bukan hasil dari impor.”
Islam moderat, bagi Quraish Shihab, tidak hanya terlihat pada produk pemikiran melainkan juga tampak dalam perilaku keseharian. Pemikiran dan perilaku moderat ini menjadi prinsip utama dalam memahami teks-teks suci agama. Karenanya, dalam konteks warga negara, umat muslim dan non-muslim mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Dengan mengatasnamakan alumni al-Azhar, Quraish Shihab menutup sambutannya dan mengatakan, “seluruh warga dalam satu negara harus bekerjasama, tanpa membedakan ras dan agama dalam bekerja.” Deklarasi Islam Moderat dalam Konferensi Al-Azhar tersebut selain dihadiri Presiden Joko Widodo juga dihadiri Menteri Agama (Lukman Hakim Saefuddin), Gubernur Nusa Tenggara Barat (Tuan Guru Bajang Zainul Majdi), dan seluruh alumni al-Azhar dari seluruh dunia.
Sosok Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi merupakan sosok “unik” dan representatif untuk spirit moderatisme ala al-Azhar. Disebut unik, TGB Zainul Majdi semula didukung oleh kelompok-kelompok Islam radikal dalam barisan pendukung Prabowo Subianto. Tetapi, tak lama kemudian, spirit moderatisme Islam ala TGB Madji dirasa tidak cocok berada dalam barisan mereka, melainkan lebih cocok berada di partai-partai koalisi kubu Jokowi-Amin.
Akhirnya, berjuang bersama partai-partai koalisi pendukung Jokowi-Amin, TGB Majdi gigih menegakkan Islam Moderat ala Al-Azhar. Puncaknya, TGB Zainul Majdi dipandang cukup memberikan kepuasan kepada al-mamaternya. Alhasil, Universitas al-Azhar, Kario, Mesir diwakili oleh Grand Syeikh Prof. Dr. Ahmed al-Tayeb MA memandang perlu untuk memberikan penghargaan kepada TGH Majdi sebagai sebagai contoh alumni dan tokoh penggerak Islam Moderat di Dunia. Penghargaan itu pun diserahkan di Gedung Grand Shaikh, Kario.
Ajaran Islam Moderat (Wasathiyyah Islam) ala Al-Azhar bukan perkara politik. Sebaliknya, politik digunakan hanya sebatas kendaraan dalam memperjuangkan Islam. Penghargaan Al-Azhar sebagai sebuah institusi terhadap TGB Madji dapat dimaknai sebagai pengokohan representasi al-Azhar di dunia Islam. Sehingga, tidak semua alumni boleh menjadi representasi al-Azhar. Jika ada alumni al-Azhar yang berseberangan dengan prinsip moderat maka berhati-hatilah dan waspadailah!
Penghargaan al-Azhar kepada TGB Majdi juga dapat dimengerti sebagai sinyalemen khusus kepada alumni-alumni Al-Azhar lain di bumi Indonesia. Selagi masih ingin menyandang gelar “alumnus Al-Azhar”, maka perjuangkanlah Islam Moderat. Sebab, belakangan ini institusi al-Azhar mencium adanya aroma pembusukan nama baik al-Azhar, ketika mulai bermunculan da’i-da’i radikal-fundamental yang bangga menyandang status sebagai alumni al-Azhar.
Masa depan Islam moderat, di mata institusi al-Azhar, ada di tangan alumni-alumninya. Gus Dur, Gus Mus, dan Quraish Shihab adalah angkatan lama. Karenanya, para penerus jejak perjuangan alumni-alumni al-Azhar yang berhaluan moderat ini harus diteruskan. TGB Majdi menjadi pilihan dan sekaligus salah satu tumpuan al-Azhar di Indonesia dalam memperjuangkan Islam moderat, setidaknya dalam periode kepemimpinan Jokowi-Amin 2019-2024.
Secara umum memang layak dikatakan bahwa Tuan Guru Haji Zainul Madji pantas meraih penghargaan itu. Sebab, beliau sangat gigih mendakwahkan manhaj wasathiyah (moderatisme). Selama bergaul dengan Tuang Guru Bajang, beliau terlihat sangat berani menampilkan sikap, pikiran dan perkataannya. Bahkan, beliau berani untuk mundur selangkah demi cita-cita keharmonisan sosial, jika langkah awalnya serasa kurang pas, tentu tanpa mengorbankan prinsip.
Lompatan dan manuver TGB Majdi dari Prabowo ke Jokowi. Sekali lagi, politik bukan tujuan melainkan sebatas sarana atau kendaraan. Jika tujuan seseorang berjalan adalah arah barat, kemudian kendaraan mengarah ke timur, maka ia memang saatnya mengganti kendaraan. TGB Majdi melakukan “selangkah mundur” demi cita-cita keharmonisan sosial, tanpa mengorbankan prinsip. Prinsip utama TGB Majdi tetap wasathiyah (moderatisme Islam) khas al-Azhar.
Moderatisme ala Al-Azhar ini dibutuhkan sekali, terlebih di tengah-tengah meningkatnya radikalisme dan fundamentalisme belakangan ini. Umat muslim Indonesia membutuhkan sosok nasional seperti TGB Majdi untuk menopang kepemimpinan Jokowi-Amin ke depan.
Setelah NTB menikmati kepemimpinan TGB selama dua periode terakhir, sudah saatnya masyarakat NTB menginfakkam TGB Majdi untuk publik nasional. Pengabdian dan perjuangannya tidak hanya dibutuhkan dalam ruang lingkup terbatas melainkan dibutuhkan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Dalam konteks penegakan Islam Moderat, Al-Azhar berdiri di belakang TGB, hal itu dibuktikan dengan adanya penghargaan terindahnya ini; sebagai kado paling romantis untuk TGB dan rakyat Indonesia, baik di era Jokowi-Amin sekarang maupun pemimpin-pemimpin berikutnya.
*Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.