Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners

Tribunners / Citizen Journalism

Hari Santri Dan Memori Sejarah Yang Dilupakan

Peringatan Hari Santri 2019 ini bagi kaum santri untuk berbicara kepada sesama putra bangsa lainnya, bahkan masyarakat dunia

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Hari Santri Dan Memori Sejarah Yang Dilupakan
TRIBUN JABAR/TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
Ribuan santri mengikuti pawai seusai menghadiri upacara peringatan Hari Santri Nasional Tingkat Provinsi Jawa Barat Tahun 2019, di Lapangan Gasibu, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Selasa (22/10/2019). Peringatan Hari Santri Nasional tahun ini mengusung tema "Santri Indonesia Untuk Perdamaian Dunia". (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN) 

Hari Santri Dan Memori Sejarah Yang Dilenyapkan

KH. Imam Jazuli, Lc., MA.*

Ketulusan mengabdi pada bangsa dan negara tidak menuntut pamrih dan balas jasa, selagi tidak ada pikiran jahat untuk memutar balik fakta sejarah. Hari Santri bukan semata kegiatan serimonial dan kebanggaan mendapat pengakuan negara, melainkan juga ajang mengembalikan memori sejarah yang dilupakan.

Dr. Ir. H. Soekarno (bung Karno) mengerti betul kekuatan memori mengingat sejarah. “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah” merupakan peringatan dari beliau bahwa sebagai sesama anak bangsa tidak boleh saling mengkhianati, apalagi ada kesengajaan untuk menghapus fragmen sejarah yang notabene sangat penting bagi bangunan kebangsaan.




Peringatan Hari Santri 2019 ini bagi kaum santri untuk berbicara kepada sesama putra bangsa lainnya, bahkan masyarakat dunia, tentang masa lalu mereka yang benar-benar ada tetapi kabur karena dikorupsi.

Korupsi Sejarah merupakan tindakan Extra Ordinary Crime, yang dampak negatifnya dirasakan generasi demi generasi. Mengembalikan “harta sejarah” yang hilang kepada bangsa dan negara adalah tanggungjawab bersama.

KH. Agus Sunyoto, M.Pd., adalah seorang tokoh agama namun sekaligus sejarawan pesantren dan budayawan muslim. Sebagai agamawan sekaligus intelektual, Agus Sunyoto mengumpulkan banyak fakta sejarah milik bangsa kita tetapi oleh sebagian putra bangsa sendiri hendak dilenyapkan. Salah satunya, dan bukan satu-satunya, banyak sejarawan yang menolak keras peristiwa Resolusi Jihad, sebelum kemudian wajah intelektualisme mereka dipermalukan.

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah gusar. Tahun 1990an ada peringatan 45 tahun Pertempuran 10 November. Tetapi, nama-nama pahlawan yang muncul di televisi, koran dan majalah adalah orang-orang dari kelompok sosialis. Nyai Sholihah, ibunda Gus Dur berkomentar, “yang berjasa itu harusnya para Kiyai, seperti kiyai Hasyim Asy’ari. Kok bisa orang-orang sosialis itu?”

BERITA TERKAIT

Peringatan Hari Santri, dengan demikian, dapat dimaknai sebagai tugu kejujuran intelektual. Sesama putra bangsa, sudah tiba saatnya untuk bersatu, tanpa ada pengkhianatan, tanpa perlu ada konflik, bahkan tidak perlu ada kecurangan berupa upaya penghapusan jejak sejarah. Keadilan tidak saja di persidangan melainkan juga sejak dalam hati dan pikiran untuk berkata jujur.

Tahun 2014 ada Seminar Nasional di salah satu perguruan tinggi negeri besar di Jakarta. Mereka sangat bangga mengatakan bahwa organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI) telah berjasa besar terhadap pembentukan jati diri kebangsaan kita. Sebab, pada tahun 1926, PKI melawan kolonialisme Belanda dan Nahdlatul Ulama tidak.

Senior-senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tercoreng muka mereka ketika seorang sejarawan Amerika, Frederik Anderson, membuka fakta sejarah selebar-lebarnya. Tentang penjajahan Jepang di Indonesia tahun 1945, Anderson mengatakan bahwa pada tanggal 22 Oktober 1945, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengeluarkan Resolusi Jihad. Pada tanggal 26 Oktober, koran-koran memuat teks Resolusi Jihad tersebut.

Salah satunya, teks Resolusi Jihad dimuat Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, edisi No. 26 tahun ke-I, Jumat Legi, 26 Oktober 1945.

Pada mulanya, Resolusi Jihad ditujukan merespon rencana Netherland Indie Civil Administration (NICA) yang ingin kembali menjajah Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari bersama kiai-kiai dari Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya tanggal 21-22 Oktober. Sehingga lahirlah Resolusi Jihad itu.

Sebelum deklarasi Resolusi Jihad, sudah ada dua barisan pejuang Islam: pertama, Barisan Hizbullah yang terdiri dari santri dan pemuda di bawah pimpinan KH. Zainul Arifin. Kedua, Barisan Mujahidin yang terdiri dari para kiai di bawah pimpinan KH. Wahab Hasbullah. Sesudah deklarasi, terbentuklah Barisan Sabilillah yang dipimpin KH. Maskur untuk mensolidkan seluruh elemen, mengingat bunyi Resolusi Jihad mewajibkan (fardhu a’in) siapapun yang berada di dalam radius 94 km dari Surabaya untuk berjihad. Radius 94 km ini adalah ukuran muslim boleh qashar shalat.

Selain itu, teks Resolusi juga menggambarkan bahwa sebelum tanggal 22 Oktober umat Islam memang telah bergolak. Resolusi Jihad bertanggal 22 Oktober hanya melegitimasi perlawanan sebelumnya. Tidak heran jika santri semakin mengamuk ketika sore hari tanggal 26 Oktober, melihat Ingris aktif membangun banyak pos pertahanan berupa karung-karung pasir yang diisi senapan mesin. Santri menyerang berdasar legitimasi Kiai bertanggal 22 Oktober tentang wajib jihad.

Halaman
12
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas