Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Berkah Mbah Hasyim dan Banjirnya Intelektual Muda NU
Menyebut satu persatu intelektual muda Nahdlatul Ulama tidak akan pernah ada habisnya. Nama Nahdlatul Ulama menjadi sebait doa Mbah Hasyim
Editor: Husein Sanusi
Berkah Mbah Hasyim dan Banjirnya Intelektual Muda NU
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
Segala puji bagi Allah swt yang menganugerahkan kanjeng Nabi Muhammad dan Islam pada kita, serta para Warasatul Anbiya’ (Pewaris Nabi), yaitu para ulama dan kiai yang gigih membela Islam, termasuk Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari. Sebagai pewaris Nabi, Mbah Hasyim tidak sia-sia menamai jam’iyahnya sebagai Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Kaum Intelektual), yang hari ini kita lihat dengan mata kepala sendiri.
Kiai-kiai muda itu diantaranya adalah Afifuddin Dimyati, Reza Ahmad Zahid, Abdul Ghofur Maimun, Ahmad Azaim Ibrahimy, Abdul Muqsith Ghozali, Ulil Abshar Abdulla, Nadirsyah Hosen, Bahauddin Nur Salim, Ahmad Baso, Jadul Maula, Mifah Maulana, Abdurrahman Kautsar, Wafiyul Ahdi, Ahmad Muwafiq, Maruf Khozin, Allama Alauddin, Ahmad Ishomuddin, Yusuf Chudlori, Aguk Irawan, Fathurrozi Zubair, Abbas Billy Yachsy, Zuhairi Misrawi, Irwan Masduqi, dan lain-lain.
Menyebut satu persatu intelektual muda Nahdlatul Ulama tidak akan pernah ada habisnya. Nama Nahdlatul Ulama menjadi sebait doa Mbah Hasyim dan para ulama sezaman untuk generasi penerusnya. Doa itu makin hari makin terasa telah terkabul. Lihat saja profil-profile dan jejak-jejak karya orang-orang yang disebutkan sebelumnya. Mereka seakan anggota tubuh yang saling menopang satu sama lain, saling berperan di pos-pos tertentu.
Katakan saja, Gus Awis sebagai pakar linguistik dan ilmu al-Quran. Tulisan-tulisannya yang berjudul Mawarid al-Bayan fi Ulum al-Quran, Safa al-Lisan fi I’rab al-Quran, atau sosiolinguistik yang diterbitkan UIN Sunan Ampel Surabaya, membuat kita terperangah untuk mengikuti jejak intelektualnya. Kemampuan Gus Awis melahirkan karya orisinil tentang al-Quran di usia yang sangat muda sungguh jempolan.
Sekalipun karyanya tidak bersentuhan dengan al-Quran langsung, Nadirsyah Hosen diakui dunia sebagai periset ilmiah jempolan. Latar belakangnya sebagai dosen di kampus luar negeri membuat tulisan-tulisannya, terlebih saat mengkritik ideologi khilafah dan komunitas pendukung khilafah di Indonesia, sangat mencerahkan. NKRI tidak akan berubah menjadi Negara Khilafah selama tulisan-tulisan Gus Nadir kita amalkan.
Jika Gus Nadir melalui pendekatan sejarah, beda lagi dengan Irwan Masduqi. Penampilannya ketika berdebat langsung di sarang pendukung gerakah ideologi Khilafah, cara Gus Irwan sangat argumentatif. Menguasai betul tema yang dibahas, menyajikan pola penafsiran yang intertekstualis, tanpa menciderai lawan tandingnya. Nalar berpikir seperti itu, penulis yakin, hanya dimiliki oleh seorang penggerak Islam progresif di masa depan.
Bagi umat muslim yang tidak terbiasa mencerna gagasan sains-ilmiah, tidak perlu khawatir. Di sana ada Gus Muwafiq, seorang muballigh yang cenderung bernalar seniman. Kekayaan data sejarah, penguasaan literatur klasik Jawa, dan gaya interpretasi dan kontekstaulisasinya ke zaman milenial, sungguh tepat sasaran. Mendengarkan ceramah-ceramahnya membuat kita seperti anak-anak yang kecanduan dongeng dari orangtuanya. Sungguh membangkitkan imajinasi historis religius kita.
Apalagi teringat nama Aguk Irawan, seorang sastrawan, novelis, penerjemah kitab-kitab bahasa Arab dan pengasuh pondok literasi, yang mungkin satu-satunya di nusantara. Minimal satu-satunya pondok yang dengan tegas menyatakan berdakwah lewat literasi. Walaupun komunitas literasi di Yogyakarta sangat banyak, tetapi menggabungkan literasi dengan pondok pesantren menjadi ciri khas perjuangan Aguk Irawan. Yang membanggakan dari Kang Aguk ini, banyak novel-novel sufiestiknya diangkat ke layar lebar, serta profil Mbah Hasyim, Mbah Wahid, dan Gus Dur diborong olehnya seorang diri.
Tidak kalah dari muballigh seniman-budayawan di atas, ada juga Gus Zuhairi Misrawi. Setelah menyelesaikan studi di Mesir, ia pulang ke Indonesia dan langsung aktif di lembaga Kajian dan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama(Lakpesdam NU) sebagai Koordinator Kajian dan Penelitian pada 2000-2002. Bersama beberapa tokoh muda NU lainnya, ia menerbitkan jurnal Pemikiran di kalangan Lakpesdam berjudul Tashwirul Afkar dan menjadi redakturnya pada tahun 2000-2005. Pemikiran-pemikiran moderatisme islam yang progresifnya sudah lama menghiasi media Nasional. Hingga hari ini ia masih aktif menulis, terutama fokus pada wacana islam politik, serta kajian timur tengah.
Selain itu ada Gus Miftah. Penulis suka sekali menyebut profil beliau sebagai “obor Islam,” yang cahaya diperuntukkan menerangi kegelapan dunia remang-remang diskotik dan pelacuran. Pemuda Nahdliyyin wajib belajar kepada beliau, terlebih pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan arus informasi membuat dunia remang-remang itu bergeser semakin dekat. Jika iman tidak betul-betul kuat, maka handphone dan komputer di tangan kita akan menjadi “gerbang setan” yang menjerumuskan. Gus Miftah bergerak membentengi iman generasi muda di ranah ini.
Gus Baha’ tampak sebagai seorang al-faqih al-mufassir, yang luas pengetahuannya dan mampu menemukan unsur-unsur hukum dalam al-Quran, ditambah pernyataan tegasnya untuk mendeklrasikan metode belajar yang menekankan pada komitmen literasi/mengaji; membaca teks turats. Dunianya adalah dunia teks, kitab, naskah, dan literatur keislaman. Belakangan, selebaran yang diatasnamakan dirinya mengajak para santri untuk mengaji kitab turats lebih serius, dengan pendekatan filologis lebih baik, sehingga karya orisinil ulama Nusantara dapat kita pegang, amalkan, dan lestarikan.
Dalam urusan kajian filologi Islam, ada Zainul Milal Bizawie (Gus Milal) dan Ginanjar Sya’ban merupakan ulama muda NU yang ambil medan dakwah dalam melakukan kajian semacam ini. Buku Masterpiece Islam Nusantara adalah satu bukti keseriusan filolog muda NU ini untuk tetap menekuni karya-karya ulama Nusantara. Selain itu ada dua nama penting pegiat literasi-online yang menjadi ikon jagad media islam yang moderat, yaitu Kang Hamzah Sahal, pendiri Alif.Id dan Kang Savic Alie pendiri Islami.co.
Itu sekadar menyebut beberapa saja nama intelektual muda NU. Di luar itu masih banyak nama dan kiprah yang luar biasa, tapi keterbatasan ruang sehingga tak mungkin bisa menyebut banyak nama. Sekali lagi, rasa syukur kita tidak akan pernah ada habisnya, jika harus menyebut satu persatu bukti membeludaknya intelektual muda NU di berbagai bidang disiplin. Rasa syukur itu tidak cukup ditulis oleh tinta dan diucapkan melalui lidah, tetapi harus kita panjatkan melalui doa-doa di setiap akhir shalat kita. Sungguh betapa kita semua ini hidup di sebuah zaman di mana berkah Mbah Hasyim menamai jam’iyahnya sebagai Kebangkitan Kaum Intelektual itu terkabul, dan nyata sekali.[]
*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.