Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ketika Alam Bernyanyi
Homo hominis lupus akan terjadi bukan pertama karena adanya angkara murka semesta terhadap manusia
Editor: Toni Bramantoro
Selincah-lincah tupai melompat akan jatuh juga. Ketika ambisi tak terbendung dan keangkuhan manusia seolah tak terbatas maka alam akan menunjukkan hal yang berbeda.
Alam memiliki mekanisme tersendiri untuk mempertahankan diri sebagaimana manusia dalam eksistensinya akan terus berusaha beradaptasi untuk tetap survival.
Upaya semesta mempertahankan diri tidak terjangkau oleh kecerdasan manusia modern. Ilmu pengetahun dan teknologi seolah lumpuh tak berdaya. Semua mati suri dihadapan semesta.
Cogito ergo sum seolah lumpuh dihadapan sebuah virus kecil, yang sama sekali tak dipandang oleh manusia sebelumnya. Bahkan ketika banyak nyawa meregang, manusia diberbagai belahan dunia lain masih pongah dan angkuh terhadap alam.
Virus corona hanya sebuah penyakit flu biasa yang dengan mudah ditaklukan oleh imunitas tubuh. Manusia yang pongah dan angkuh sering menjadi kelewatan dalam percaya diri. Mungkinkah di sini terjadi metanoia manusia terhadap alam dan terhadap sesama yang lain?
Manusia perlu belajar untuk rendah hati dihadapan semesta dan pencipta semesta. Ketika ribuan nyawa meregang sia-sia dan jutaan lainnya terkurung dalam ketakutan yang absud, maka di sini manusia harus mempertanyakan eksistensi dirinya dalam hubungan dengan semesta.
Pandemi global ini meluncurkan sebuah realitas tentang hubungan terkritis yang mempertanyakan eksistensi masing-masing dan bagaimana membangun hubungan kausalitas yang sehat antara alam dan manusia.
Eksistensi virus corona yang penuh dengan kemisteriusannya dan belum memberikan sebuah titik terang tentang bagamana dia ada, kemana dia pergi dan bagaimana akhir penyelesaiannya juga menjadi critical point bagi para ilmuwan dan kaum teknokrat.
Semua harus mempertanyakan esensi dan hakekat dari ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri bagi kemaslahatan semesta.
Alam bernyanyi saat ini. Langit membiru, es membeku, paru-paru anak jalanan kembali sehat, hutan sunyi dari eksploitasi. Bernyanyi bukan untuk mengolok manusia karena harus terkurung di rumah-rumah. Manusia terpenjara oleh sesuatu yang tidak kasat mata.
Didera oleh ketakutan akan wabah dan ketakutan ini gagal dimenangkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketakutan ini menyiksa miliaran manusia di seantero jagad.
Dan pemerintah negara-negara harus berjibaku untuk menghentikan wabah sembari berjuang menenangkan rakyatnya dengan membangkitkan kekuatan moral dan mental agar tetap sehat dan tetap percaya pada pemerintah.
Refleksi soal ketakutan akan wabah ini dilukiskan dengan tepat oleh filsuf Paul Michel Foucault (1926-1984). Ia menulis, “Sebuah ketakutan dirumuskan dalam term-term medis namun digerakkan secara mendasar oleh mitos moral. Masyarakat hidup dalam ketakutan akan sebuah penyakit misterius yang menyebar dari rumah-rumah pengurungan yang segera akan mengancam kota-kota.”
Refleksi Foucault untuk peristiwa black death di Eropa ini kembali menjadi nyata dalam kondisi global saat ini. Semua mengurung diri dalam rumah-rumah namun tetap tidak yakin bisa bebas dari wabah misterius ini.