Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Ketika Alam Bernyanyi

Homo hominis lupus akan terjadi bukan pertama karena adanya angkara murka semesta terhadap manusia

Editor: Toni Bramantoro
zoom-in Ketika Alam Bernyanyi
SPUTNIK NEWS
Presiden Amerika Serikat Donald Trump 

Selincah-lincah tupai melompat akan jatuh juga. Ketika ambisi tak terbendung dan keangkuhan manusia seolah tak terbatas maka alam akan menunjukkan hal yang berbeda.

Alam memiliki mekanisme tersendiri untuk mempertahankan diri sebagaimana manusia dalam eksistensinya akan terus berusaha beradaptasi untuk tetap survival.

Upaya semesta mempertahankan diri tidak terjangkau oleh kecerdasan manusia modern. Ilmu pengetahun dan teknologi seolah lumpuh tak berdaya. Semua mati suri dihadapan semesta.

Cogito ergo sum seolah lumpuh dihadapan sebuah virus kecil, yang sama sekali tak dipandang oleh manusia sebelumnya. Bahkan ketika banyak nyawa meregang, manusia diberbagai belahan dunia lain masih pongah dan angkuh terhadap alam.

Virus corona hanya sebuah penyakit flu biasa yang dengan mudah ditaklukan oleh imunitas tubuh. Manusia yang pongah dan angkuh sering menjadi kelewatan dalam percaya diri. Mungkinkah di sini terjadi metanoia manusia terhadap alam dan terhadap sesama yang lain?

Manusia perlu belajar untuk rendah hati dihadapan semesta dan pencipta semesta. Ketika ribuan nyawa meregang sia-sia dan jutaan lainnya terkurung dalam ketakutan yang absud, maka di sini manusia harus mempertanyakan eksistensi dirinya dalam hubungan dengan semesta.

Pandemi global ini meluncurkan sebuah realitas tentang hubungan terkritis yang mempertanyakan eksistensi masing-masing dan bagaimana membangun hubungan kausalitas yang sehat antara alam dan manusia.

Berita Rekomendasi

Eksistensi virus corona yang penuh dengan kemisteriusannya dan belum memberikan sebuah titik terang tentang bagamana dia ada, kemana dia pergi dan bagaimana akhir penyelesaiannya juga menjadi critical point bagi para ilmuwan dan kaum teknokrat.

Semua harus mempertanyakan esensi dan hakekat dari ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri bagi kemaslahatan semesta.

Alam bernyanyi saat ini. Langit membiru, es membeku, paru-paru anak jalanan kembali sehat, hutan sunyi dari eksploitasi. Bernyanyi bukan untuk mengolok manusia karena harus terkurung di rumah-rumah. Manusia terpenjara oleh sesuatu yang tidak kasat mata.

Didera oleh ketakutan akan wabah dan ketakutan ini gagal dimenangkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketakutan ini menyiksa miliaran manusia di seantero jagad.

Dan pemerintah negara-negara harus berjibaku untuk menghentikan wabah sembari berjuang menenangkan rakyatnya dengan membangkitkan kekuatan moral dan mental agar tetap sehat dan tetap percaya pada pemerintah.

Refleksi soal ketakutan akan wabah ini dilukiskan dengan tepat oleh filsuf Paul Michel Foucault (1926-1984). Ia menulis, “Sebuah ketakutan dirumuskan dalam term-term medis namun digerakkan secara mendasar oleh mitos moral. Masyarakat hidup dalam ketakutan akan sebuah penyakit misterius yang menyebar dari rumah-rumah pengurungan yang segera akan mengancam kota-kota.” 

Refleksi Foucault untuk peristiwa black death di Eropa ini kembali menjadi nyata dalam kondisi global saat ini. Semua mengurung diri dalam rumah-rumah namun tetap tidak yakin bisa bebas dari wabah misterius ini.

Halaman
123
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas