Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
“Ambyur Ben Ora Ambyar”
Yakni blangkon yang tidak memiliki mondolan (tonjolan) di bagian belakang, seperti blangkon model Yogyakarta.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Trias Kuncahyono
TRIBUNNEWS.COM - Apakah kebiasaan Didi Kempot mengenakan blangklon, hampir di setiap penampilannya, sekadar sebagai asesoris, gaya, ingin tampil beda, atau memiliki tujuan tertentu?
Blangkon yang ia kenakan adalah blangkon model Solo.
Yakni blangkon yang tidak memiliki mondolan (tonjolan) di bagian belakang, seperti blangkon model Yogyakarta. Sebagai ganti mondolan di bagian belakang ada ikatan dua ujung kain di kanan kiri.
Menurut para cerdik cendekia budaya Jawa, ikatan ini melambangkan pengendalian diri, pengendalian nafsu. Ikatan itu juga melambangkan pertemuan antara mikrokosmos (jagad cilik) dan makrokosmos (jagad gedhe).
Manusia sebagai jagad cilik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari alam semesta sebagai jagad gedhe; bahkan dengan dunia serba gaib yakni alam roh.
Sebenarnya, pandangan seperti ini yang disebut konsep partisipasi adalah pandangan yang hidup pada masa prasejarah sebelum ada pengaruh Hinduisme. Namun, pandangan seperti itu masih hidup hingga kini.
Blangkon, karena itu, melambangkan jagad gedhe, sedangkan kepala adalah jagad cilik, yang tak terpisahkan dari jagad gedhe.
Dengan mengenakan blangkon, orang ingin menegaskan bahwa hidup manusia tidak dapat dipisahkan dengan Hyang Hidup Kekal, Tuhan.
Oleh karena tidak dapat dipisahkan dengan Hyang Maha Hidup, maka homo solus particeps rationes et cogitationis, hanya manusia yang ikut ambil bagian dari nalar dan pikiran, kata Cicero (106 SM-43 SM) seorang negarawan Romawi.
Inilah yang membedakan manusia dengan mahkluk-mahkluk ciptaan lainnya, seperti binatang.
Entah sengaja atau tidak, penampilan Didi Kempot melambangkan semua itu. Dengan penampilan seperti itu, Didi Kempot tidak hanya merepresentasikan dirinya sebagai seorang penyanyi.
Dan juga bukan hanya sebagai seorang entertainer. Ia bahkan seorang pembawa pesan, sebagai pengingat bagaikan para pujangga di masa lalu.
Dengan lagu Ambyar, misalnya, ia tidak hanya berkisah tentang hati yang kecewa karena diingkari, hati yang menderita karena disakiti, hati yang hancur karena ditinggal kekasih.