Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

“Ambyur Ben Ora Ambyar”

Yakni blangkon yang tidak memiliki mondolan (tonjolan) di bagian belakang, seperti blangkon model Yogyakarta.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in “Ambyur Ben Ora Ambyar”
Tangkap Layar YOUTUBE
Didi Kempot. 

Runtuhnya kebudayaan Jawa karena masuknya kebudayaan dan dominasi kebudayaan asing, akan berakibat pada runtuhnya budaya nasional.

Itulah sebabnya, dalam setiap pentasnya, Didi Kempot selalu berteriak, “Wong Jawa aja lali jawane.”

Apakah itu hanya berlaku bagi orang Jawa saja? Tidak! Teriakan Didi Kempot atau bahkan  peringatan keras berlaku  bagi semua suku bangsa di negeri.

Semua—apakah itu Sunda, Madura, Batak, Manado, Bali, Bugis, Dayak, Papua, Ambon, Sasak, Aceh, dan lainnya yang bersatu membangun budaya nasional—diajak untuk tidak melupakan apalagi meninggalkan budaya asli, budaya sendiri dan memeluk budaya asing.

Kalau bangsa ini meninggalkan budaya sendiri, budaya nasional, dan membiarkan budaya asing masuk, tumbuh, dan berkembang, maka ambyar-lah budaya negeri ini dan ambyar pula negeri ini, karena hilang identitas nasionalnya.

Dalam artian ini, Didi Kempot adalah seorang tokoh fenomenal. Begitu komentar Daniel Dhakidae.

Didi Kempot  tidak sekadar sebagai seorang penyanyi maupun entertainer, tetapi benar-benar pembawa pesan. Kepergiannya yang terlalu cepat, pada usia 53 tahun, sungguh berarti kehilangan sangat besar untuk Indonesia dan terlebih untuk Jawa.

Berita Rekomendasi

Tentu penyelamatan sebuah budaya bangsa, tidak cukup dilakukan oleh satu orang saja, oleh seorang Didi Kempot saja.

Walaupun, ia mampu membangun sebuah “Komunitas Ambyar” yang begitu kokoh, kuat, dalam kebersamaan.

Didi Kempot berhasil membentuk “Komunitas Ambyar” yang lewat caranya tersendiri mempertahankan, nguri-uri, memelihara dan menghidup-hidupi budaya Jawa, yang pada gilirannya diharapkan akan menular ke budaya-budaya asli nusantara yang lain.

Komunitas adalah kehidupan. Dari situlah asal kemampuan manusia untuk bertahan hidup. Seperti itulah keadaannya ketika manusia masih hidup di gua-gua. Dan, masih tetap penting hingga sekarang. Karena itu, adanya “Komunitas Ambyar” adalah salah satu cara untuk terus menghidup-hidupi budaya. Karena kebersamaan akan menjadi kekuatan yang maha dahsyat untuk menghadapi serangan dari luar yang ganas.

Karena tidak cukup “hanya” seorang Didi Kempot saja, berarti diperlukan orang lain, kelompok lain, komunitas lain, lembaga lain yang mau ambyur—mencemplungkan diri ke dalam air—atau terlibat langsung, ikut basah.

Sama halnya dalam usaha memutus mata-rantai penyebaran pandemic Covid-19,  dibutuhkan keterlibatan semua pihak, tidak hanya pemerintah saja. Semua pihak harus ikut ambyur.

Semua lapisan masyarakat tanpa kecuali, harus bersama-sama memutus mata-rantai penyebaran pandemic Covid-19, termasuk dengan cara yang paling mudah mentaati keputusan politik pemerintah untuk tidak mudik, untuk tidak pulang ke kampung, dan tetap tinggal di rumah.

Halaman
1234
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas