Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners

Tribunners / Citizen Journalism

“Ambyur Ben Ora Ambyar”

Yakni blangkon yang tidak memiliki mondolan (tonjolan) di bagian belakang, seperti blangkon model Yogyakarta.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in “Ambyur Ben Ora Ambyar”
Tangkap Layar YOUTUBE
Didi Kempot. 

Tetapi, ia ingin bicara tentang kondisi, situasi zaman yang memrihatinkan terutama kehidupan dan tatanan sosial masyarakat.

Kondisi Indonesia tahun 2019, menjelang dan setelah pemilu presiden terpecah belah, dan bila diterus-teruskan negeri ini bisa ambyar.

Lebih dari itu, Didi Kempot sebagai orang yang bergerak dan berkecimpung dalam seni terutama seni budaya Jawa yang ingin terus menghidup-hidupi dan mempertahankan budaya Jawa, lewat lagu-lagu berbahasa Jawa, merasakan semakin tersisihkannya budaya Jawa (bahkan budaya nasional).

Ini sesuatu yang sangat membahayakan. Ia melihat lampu merah sudah berkedip-kedip. Ia mendengar dentang lonceng tanda peringatan akan bahaya.

Sejarah menceritakan, situasi semacam ini pernah terjadi menjelang dan setelah Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830).

Sejarah Perang Diponegoro juga dilatarbelakangi oleh budaya serta adat Keraton Yogyakarta yang mengalami pergeseran ke budaya Barat akibat pengaruh datangnya bangsa Eropa.

Dalam arti, nilai dan norma sosial yang  diterapkan keraton  sebagai pusat budaya, tidak lagi berakar pada budaya dan adat lokal melainkan nilai dan norma sosial Barat.

BERITA TERKAIT

Kondisi seperti itu, juga terjadi di Keraton Surakarta, yang dulu ditangkap oleh pujangga Keraton Surakarta, Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873).

Pujangga besar yang disebut as the coping stone of Javanese writers, sebagai pujangga penutup ini mengungkapkan perasaan dan tangkapan mata hatinya  dalam kitab-kitab jangka atau ramalan yang sangat terkenal yakni Serat Pranitiwakya Jangka Jayabaya atau biasa disebut Jangka Jayabaya dan Jaka Lodhang.

Kitab-kitab jangka (ramalan) tersebut menumbuhkan harapan-harapan akan kedatangan juru pembebas dan akan kembalinya masa keemasan bagi bangsa Jawa. Karena itu, merupakan pelipur lara yang menyelamatkan bangsa Jawa dari kehancuran mental dan keputusasaan yang tidak berkesudahan (Simuh, 2016).

Ini menegaskan betapa pentingnya budaya Jawa bagi keberlangsungan sebuah bangsa. Dalam konteks nasional, tentu pentingnya budaya nasional bagi keberlangsungan bangsa.

Daniel Dhakidae dalam catatan kecil yang dikirimkan lewat WA menyebut kebudayaan Jawa sebagai The Last Ditch Defense terhadap kebudayaan asing. Kata last ditch dalam terminologi militer abad ketujuh-belas, diartikan—“parit terakhir” itu–sebagai garis pertahanan terakhir.

Kata-kata itu dulu diucapkan oleh raja Belanda William Orange (1650-1702) ketika diminta untuk menyerah kepada Raja Perancis Louis XIV yang menyerang Belanda pada tahun 1672. Ketika itu  William mengatakan,  “No. I mean to die in the last ditch.”

Dengan menjebut kebudayaan Jawa sebagai The Last Ditch Defense, ini berarti menekankan pentingnya kebudayaan Jawa.

Halaman
1234
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
berita POPULER
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas