Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
“Ambyur Ben Ora Ambyar”
Yakni blangkon yang tidak memiliki mondolan (tonjolan) di bagian belakang, seperti blangkon model Yogyakarta.
Editor: Hasanudin Aco
Dalam konteks budaya Ki Hajar Dewantara pernah menyatakan bahwa kebudayaan nasional Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah.
Karena itu memelihara dan mempertahankan kebudayaan daerah adalah sangat penting demi tetap hidup dan berlangsungnya kebudayaan nasional.
Sekarang, misalnya, muncul perkumpulan Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI) dan komunitas kebaya lainnya, tentu bertujuan untuk tetap mempertahankan kebaya sebagai pakaian nasional Indonesia.
Ini sebuah contoh kecil partisipasi masyarakat mempertahankan identitas nasional. Bentuk lain, sebelum pandemi Covid-19 munculnya flash mob.
Misalnya, flash mob “Beksan Wanara” yang ditampilkan di area Jalan Malioboro, Yogyakarta yang kemudian muncul di mana-mana yang mendapat sambutan masyarakat penuh gairah.
Hal itu paling tidak menggambarkan bahwa apresiasi masyarakat terhadap kesenian tradisi masih cukup tinggi.
Bukankah flash mob tidak berhasil kalau yang ambyur hanya satu orang.
Tetapi, ketika banyak penari terlibat dan bahkan penonton tanpa ragu-ragu, tanpa malu-malu ikut ambyur, ikut serta menjadi penari tanpa perlu memakai kostum sebagaimana mestinya, maka pesan yang disampaikan sampai. Itulah yang harus dilakukan.
Dalam konteks yang lebih besar bagi penyelamatan kebudayaan nasional, identitas nasional—juga saat ini dalam memerangi Covid-19–keterlibatan semua pihak sangat penting. Sebab keterlibatan semua pihak itu, akan menentukan, menjadi kunci keberhasilan perjuangan.
Semua harus ikut ambyur ben ora ambyar. ***