Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Kado Ultah ke-67 Cak Nun, Sunan Kalijaga Era Milenial

Kecintaan Cak Nun pada budaya membuatnya tidak pernah sedikitpun berpaling dari dunia yang melambungkan namanya tersebut.

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Kado Ultah ke-67 Cak Nun, Sunan Kalijaga Era Milenial
Tribun Jateng/Hermawan Handaka
Ribuan warga Semarang, Jawa Tengah, dan Jamaah Maiyah tumpah ruah memadati Klenteng Sam Poo Kong dalam acara ''Sinau Bareng Cak Nun, Kiai Kanjeng bersama Polda Jateng, Sam Poo Kong, dan Tribun Jateng'' yang belangsung Kamis (18/4/2019) lalu. Rabu 27 Mei 2020 hari ini, Cak Nun merayakan hari ulang tahun yang ke-67. Tribun Jateng/Hermawan Handaka 

Kado Ultah ke-67 Cak Nun, Sunan Kalijaga Era Milenial

Oleh KH. Imam Jazuli Lc., MA*

TRIBUNNEWS.COM - Terlepas dari beberapa pernyataannya yang kontroversial, kehidupan Muhammad Ainun Najib atau yang lebih akrab dipanggil  Emha atau Cak Nun layak dijadikan inspirasi banyak orang, terutama kalangan milenial.

Kecintaannya pada budaya  membuatnya tidak pernah sedikitpun berpaling dari dunia yang melambungkan namanya tersebut.

Bahkan hingga di usianya  yang hari ini genap 67 tahun (Lahir di Jombang, 27 Mei 1953), Cak Nun masih setia untuk tetap melestarikan budaya negeri dalam setiap kesempatan. Bahkan tak sedikit, karyanya adalah simbol kebudayaan dan kebersilaman di Nusantara. 

Baginya kebudayaan dan keislaman adalah satu tarikan nafas, tak bisa dipisahkan satu sama lain. Islam butuh kebudayaan sebagai khazanah, dan budaya butuh islam untuk memberi nilai yang lebih.

Lewat karya-karyanya, Cak Nun mencoba menyampaikan banyak hal terkait isue-isue sosial, politik, ekonomi dan keagamaan  yang ada di sekitarnya.

Berita Rekomendasi

Ia menyampaikan gagasan pemikiran dan kritik-kritiknya dalam berbagai bentuk: puisi, esai, cerpen, film, drama/teater, lagu, musik, talkshow televisi, siaran radio, seminar, ceramah, pidato kebudayaan, tayangan  video, bahkan karikatur atau lukisan.

Ia menggunakan beragam media komunikasi dari cetak hingga digital dan sangat produktif dalam berkarya.

Ciri dari semua karyanya itu bersifat kontemplatif, relegius dan humoris dengan sentilan- sentilan belingnya. Penulis kira di Indonesia nyaris tidak ada budayawan yang sekomplit Cak Nun.

Pada akhir tahun 1969 ketika masih SMA, Cak Nun memulai proses kreatifnya dengan menjalani hidup “tirakat” di Malioboro,  Yogyakarta selama lima tahun hingga 1975.

Ia menggelandang dan menjadi seniman bohiman. Kala itu, Malioboro masih  menjadi tempat yang asyik bertemunya para aktivis mahasiswa, sastrawan, dan seniman Yogyakarta.

Malioboro juga menjadi  salah satu poros dalam jalur Bulaksumur-Malioboro-Gampingan yang menandakan dialektika intelektual-sastra-seni rupa.

Di  Malioboro ini, Cak Nun, bersama Ebied G Ade, Teguh Karya, Iman Budhi Santosa, Ragil Suwarna Pragolapati, Linus Suryadi  AG, Korrie Layun Rampan dan lainnya  bergabung dengan PSK (Persada Studi Klub), sebuah ruang studi sastra bagi penyair  muda Yogyakarta yang diasuh oleh penyair misterius Umbu Landu Paranggi.

Halaman
1234
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas