Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Gus Mis, Intelektual Muda NU Garda Depan Pembela Minoritas
Gus Mis adalah seorang penulis produktif kelahiran Sumenep, Madura, 1977, juga figur Azhariyyin yang kontroversial dan unik.
Editor: Husein Sanusi
Ketika ia memangku amanah sebagai reporter di Nuansa: Jurnal Kajian Keislaman, yang diterbitkan Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Mesir, dan beralamat di 47/02 Mohamed Mandor St. Nasr City, Cairo, Egypt. Penulis sendiri sebagai redaktur pelaksana.
Sebaliknya, di buletin Terobosan, Mesir, ia sebagai redaktur pelaksana dan penulis sebagai reporter. Kami terpisah ketika di Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Cairo; dia Pemred Jurnal OASE, sedangkan penulis Ketua Sanggar Terjemah dan Pustaka (SAMAHTA).
Produktivitas berkarya dan kegigihan berpikir semakin terasa ketika Gus Mis menerima amanah sebagai sekretaris Lembaga Studi Filsafat Islam (LSFI), Kairo, dan penulis sebagai ketua. Semangatnya untuk bangkit membela kelompok minoritas dan kaum lemah (mustadh’afin), begitu membara.
Saat ini Kepakaran Gus Mis diakui oleh media nasional seperti Kompas TV dan Metro TV , Wajahnya selalu muncul di Kompas TV dan Metro TV dalam banyak acara mewakili "intelektual muda NU" atau sebagai pengamat geopolitik Timur Tengah.
Analisa Gus Mis tentang peta politik Timur Tengah, misal terorisme, Islamic State, sangat mendalam. Bahkan, pendekatan disiplin ilmu hubungan internasionalnya sangat kritis.
Salah satunya yang mengkomparasikan agresifitas Malaysia dan Indonesia dalam menjalin kerjasama dengan Arab Saudi. Negara kecil Malaysia mampu mengalahkan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia.
Tentu saja seperti pepatah lama, “semakin tinggi pohon dipanjat, semakin kencang angin menerpa.” apalagi Tindak-tanduk Gus Mis cukup kontroversial. Salah satu kontroversi tentu muncul di kelompok yang kurang setuju dengan ide kritis Gus Mis, seperti terkait pembelaannya terhadap kelompok Ahmadiyah. Namun, harus disadari, setiap ada “penolakan” di sana selalu ada “penerimaan”.
Gus Mis bagi kalangan Ahmadiyah serupa Gus Mus di kalangan Nahdliyyin. Karenanya, bagi penulis, fenomena pro-kontra dalam hal apa saja merupakan perkara lazim di dunia pemikiran.
Penulis saksi hidup, Gus Mis ini pribadi yang suka tantangan sejak dari Mesir, dan mungkin itu karakter bawaannya sebagai ilmuan Madura. Secara garis intelektual, Gus Mis adalah "putra pesantren".
Ini penting sekali dicatat. Ia belajar ilmu-ilmu Islam di Pondok Pesantren Al-Amien, Sumenep, Madura.
Sejak dari pondok sudah jatuh cinta yang mendalam terhadap al-Quran, Tafsir, Fiqih, Sastra, dan terutama Filsafat Islam.
Produktivitas menulis juga disemai sejak di pondok. Tidak heran apabila kemudian hari menempuh pendidikan sarjana di Departemen Akidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo. Semua itu hanya fase pematangan intelektualnya sejak awal.
Sepulang dari Mesir, tiba di Jakarta, lalu melanjutkan studi pascasarjana di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara tahun 2006.
Tema-tema pemikiran Gus Mis ini semakin beragam; radikalisme, puritanisme, demokrasi, dan pluralisme. Sebagai pemikir dan penulis, banyak karya brilian lahir dari tangan Gus Mis.