Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Gus Mis, Intelektual Muda NU Garda Depan Pembela Minoritas
Gus Mis adalah seorang penulis produktif kelahiran Sumenep, Madura, 1977, juga figur Azhariyyin yang kontroversial dan unik.
Editor: Husein Sanusi
Beberapa karya Gus Mis antara lain: Islam Melawan Terorisme (2004), Doktrin Islam Progresif (2004), Menggugat Tradisi (2004), Khutbah-Khutbah Toleransi (2009), Makkah (2009), Madinah (2009), Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan (2010), Al-Quran Kitab Toleransi (2010), Pandangan Muslim Moderat (2010), Al-Azhar (2010), dan Pelangi Melbourne (2011).
Sekali pun mengatakan bahwa peran Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah begitu sentral dan penting bagi masa depan bangsa dan negara ini, tetapi ide cemerlang itu terkendala oleh kedekatannya dengan kelompok minoritas Ahmadiyah.
Dalam sebuah kesempatan, Gus Mis mengatakan, "saya sebenarnya 99% adalah Ahmadiyah, tinggal 1% lagi," (https://warta-ahmadiyah.org).
Gus Mis memang berani dan cenderung nekat. Penulis menjadi teringat sepak terjang intelektual almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga kontroversial karena kedekatannya dengan Israel dan Tionghoa.
Saking dekatnya dengan Israel, Para Rabi menangis mendengar pidato-pidato Gus Dur. Sehingga banyak orang menyebut beliau sebagai "Sobat Israel dari Dunia Islam".
Sedangkan di mata etnis Tionghoa, Gus Dur disebut “Bapak Tionghoa”. Di sini, Gus Mis pantas disebut “Bapak Ahmadiyah”.
Secara objektif, Yahudi dan Ahmadiyah berposisi sama di mata Islam, yakni sama-sama tidak mengakui Nabi Muhammad saw sebagai Khatimul Anbiya’ (Penutup Para Nabi).
Dengan kata lain, kedekatan Gus Mis pada Ahmadiyah serupa kedekatan Gus Dur pada Yahudi dan Israel.
Apalagi Ahmadiyah di Indonesia bukan gerakan politik seperti Yahudi, yang menjadi kaum kolonial di tanah Palestina. Artinya, posisi kontrovesi intelektual Gus Mis di bawah kualitas Gus Dur.
Tidak cukup sampai di situ. Gus Mis layak ditempatkan sebagai Azhariyyin Indonesia pembela Ahmadiyah.
Sebagai seorang alumni, hal ini menjadi signal adanya sebuah perjuangan yang kontradiktif dengan kurikulum dan Faham Al-Azhar itu sendiri.
Keunikan dan spesifikasi pilihan perjuangan Gus Mis menjadi alasan paling rasional penolakan atas dirinya di kalangan sebagian Azhariyyin sendiri. Di mata penulis, Gus Mis selangkah lebih ekstrim dari pada Gus Mus.
Gus Mus mengatakan, "Saya tidak membela, tapi orang NU itu memang harus bersikap tawassuth (tidak memihak), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang),".
Tema-tema semacam toleransi dan moderat ini diterjemahkan oleh Gus Mis ke dalam gerakannya dalam mengadvokasi Ahmadiyah.
Gus Mus tidak membela Ahmadiyah tapi menolak segala bentuk penyelesaian dengan kekerasan, sedangkan Gus Mis tegas menyatakan pembelaannya.