Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kopi Puntang Menyibak Kenangan Dua Jenderal
Bagi dua orang jenderal ini, secangkir kopi bahkan bisa merajut sepanjang jalan kenangan.
Editor: Willem Jonata
Melalui negosiasi yang alot, Yudo berhasil membuat World Dream menunggu di perairan Malaysia. Selama itu, Yudo dan para prajurit Kogabwilhan menyiapkan Pulau Sebaru kecil untuk karantina ABK tadi.
Syahdan, Jumat sore tanggal 28 Februari 2020, para ABK tadi berhasil dievakuasi menggunakan kapal perang TNI-AL (KRI Soeharso).
Saat persiapan sarana di Pulau Sebaru, Yudo juga mengkisahkan anggotanya sempat tertahan angin kencang.
"Mendekati Pulau Sebaru, angin kecang dan dan gelombang pasang. Saya minta TNI-AL mengerahkan armada amphibi untuk memboyong peralatan menuju dermaga Pulau Sebaru. Wah... penuh perjuangan...,” kata Yudo.
Ada tawa di bibirnya, tetapi tatapan matanya seperti menerawang jauh ke waktu yang telah lewat.
Selesaikah persoalan ABK World Dream? Masih panjang kisah. Ada cerita soal kesulitan air bersih, ada kejadian demo ABK yang membuat Yudo harus mengambil sikap tegas.
Bermula dari ekspektasi berlebihan para ABK. Demi mendengar bahwa mereka harus menjalani karantina di Pulau Sebaru, maka para ABK tadi pun mencari tahu ihwal Pulau Sebaru melalui laman google. Tentu saja, image yang muncul adalah foto-foto sebuah pulau yang elok rupa.
Apa daya, ekspektasi mereka terlalu berlebihan. Karenanya, mereka menjadi kecewa ketika mendapati tempat karantina yang terbilang sederhana. Bahkan tiga hari karantina, mereka langsung dihadapkan para problem kesulitan air bersih. Sebab, mata air di Sebaru, mendadak kering karena disedot tak kurang dari 100 ton air setiap hari.
“Kami segera mengerahkan kapal TNI AL yang mampu memasok 2.000 ton air ke Sebaru. Tapi, satu persoalan air selesai, persoalan lain muncul seperti genset yang mati, dan kami segera datangkan genset milik Lantamal,” tutur Yudo.
Suatu hari, para ABK yang terbiasa hidup di kapal pesiar, merasa tidak tahan hidup di karantina Pulau Sebaru. Mereka kecewa karena kenyataannya tidak seindah yang mereka bayangkan. Meski, cukup memadai dari sisi fisik bangunan dan fasilitas yang disiapkan pemerintah.
Sebagai bentuk pelampiasan rasa kecewa, mereka melakukan unjuk rasa, dengan melakukan aksi corat-coret di dinding dan jendela kaca bangunan karantina. Mendengar itu, Yudo hanya bisa mengelus dada. Tapi, toh dia harus turun tangan menenangkan dan memberi pengertian.
Jika hari hari sebelumnya Yudo mengunjungi Pulau Sebaru menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) secara lengkap, hari itu ia datang tanpa APD, dan mengenakan pakaian loreng, pakaian dinas lapangan tentara. Lengkap (ketika itu) dengan pangkat tiga bintang di pundak kiri-kanan.
Dengan nada berat dan tatap mata tajam, kepada para ABK yang melakukan demo, Yudo meminta untuk menerima keadaan. Setidaknya selama 14 hari sebelum mereka dinyatakan benar-benar sehat dan diperbolehkan pulang berkumpul bersama keluarga.
Berkat ketegasan dan pendekatan persuasif, sejak itu, tidak ada lagi masalah. Mereka semua mau menerima keadaan, dan menyadari posisi dan kondisinya.