Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Harapan Keadilan bagi Novel Baswedan dan Publik Terletak pada Nurani Majelis Hakim
Petrus: Melihat pandangan dan penilaian JPU dalam kasus Terdakwa Rahmat Kadir Mauhlete dan Rony Bugis, nampak sangat jelas kerancuan
Editor: Malvyandie Haryadi
Pertanyaannya apakah bagian kepala, mata, pelipis, hidung bukan bagian dari badan Novel atau kalau memang tujuannya ke bagian lain dari badan Novel, mengapa arah penyiramannya tidak diarahkan ke bagian leher ke bawah yang lebih mudah mencapai sasaran, ketimbang diarahkan ke arah wajah Novel.
Pendirian demikian menandakan bahwa JPU telah memanipulasi fakta-fakta temuan Penyidik yang telah dikonstruksi menjadi bukti-bukti yang tervalidasi.
Baca: Tuntutan Kasus Novel Baswedan Jadi Sorotan, Jaksa Agung ST Burhanuddin Akan Evaluasi
Terdakwa harus dihukum berat
Setiap JPU bekerja dalam hirarki kekuasaan, dengan demikian pandangan yang sempit dan menyesatkan yang dilakonkan oleh JPU tidak mungkin berdiri sendiri atau persoanal.
Ini JPU terlalu berani karena membenarkan perbuatan Terdakwa sebagai direncanakan terlebih dahulu dengan target memberi efek melukai dan menyengsarakan Novel dan target Terdakwa tercapai yaitu mata kanan kiri tidak berfungsi dan jadi cacat permanen, tetapi menganulir dakwaan primer.
Oleh karena itu tidak pada tempatnya Terdakwa dituntut dengan Dakwaan Subsider pasal 353 ayat (2) KUHP jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan dalil Dakwaan Primer tidak terpenuhi.
Ini jelas merupakan kesimpulan sesat karena JPU mengingkari fakta-fakta materil yang JPU sendiri akui keberadaan dan kebenarannya, dan oleh karena itu Jaksa Agung harus mempertanggungjawabkan peruatan JPU kepada publik.
Bahkan dalam Surat Tuntutan-pun JPU menyebutkan motif kedua terdakwa adalah tidak suka atau membenci Novel Baswedan karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), ibarat "kacang lupa pada kulitnya".
Dalam pertimbangannya, JPU menilai hal yang memberatkan bagi kedua terdakwa adalah mencedarai institusi Polri, namun JPU tidak mempertimbangkan bahwa akibat perbuatan terdakwa telah menimbulkan trauma bagi seluruh Penegak Hukum termasuk JPU dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum yang sewaktu-waktu bisa saja menjadi korban akibat pencari keadilan sakit hati.
Juga tidak mempertimbangkan begitu lamanya Terdakwa tidak segera menyerahkan diri sehingga membuat saling tuding diantara kelompok masyarakat tentang siapa dibalik peristiwa penyiraman ini.
Oleh karena itu harapan untuk keadilan bagi Novel Baswedan dan rasa keadilan publik, terletak pada nurani Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini.
Majelis Hakim diharapkan tidak terjebak pada cara berpikir sesat dan keseimpulan JPU yang kontradiktif dimana di satu pihak membenarkan adanya penganiayaan berat yang direncanakan matang karena dendam dan ingin menyakiti Novel sebagai suatu pelajaran, tetapi JPU mengingkari fakta-fakta yang sudah divalidasi dan diyakini JPU sebagai penganiayaan berat dan direncanakan terlebih dahulu.