Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Perlu Political Will Dalam Menjaga Industri Pesawat Dirgantara
Pemerintah perlu menunjukan political will untuk menunjukkan kepedulian terhadap bangkitnya industri pesawat terbang nasional
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Hanggar-hanggar IPTN yang semula menjadi tempat produksi pesawat, banyak yang terlantar hingga menjadi sarang laba-laba.
Namun sekitar pertengahan tahun 2000-an, IPTN yang sudah berubah nama menjadi PT DI, menunjukan geliat kebangkitannya.
Di tengah ancaman kebangkrutan karena tidak mampu membayar utang berupa kompensasi dan manfaat pensiun serta jaminan hari tua terhadap karyawannya, PT DI mendapat pesanan membuat pesawat dari negera-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Brunei, dan Filipina, termasuk negara Korea Selatan.
Sementara kegigihan pamerintah dan PT DI untuk membangun kembali industri pesawat nasional, mulai terlihat buahnya. Pada 24 Oktober 2007 Mahkamah Agung membatalkan putusan pailit Pengadilan Niaga dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas PT DI.
Setelah itu PT DI berhasil mengirimkan 4 unit pesawat CN-235 pesanan Korea Selatan. Selain itu PT DI dipercaya TNI AL untuk menyelesaikan 3 pesawat CN-235 dan 24 Heli Super Puma dari Euro Copter.
Riwayat selanjutnya PT DI bukan lagi tentang pabrik pesawat yang sedang bangkit dari keterpurukan, tapi sudah mulai mengepakan sayapnya untuk terbang lebih tinggi.
Momentumnya adalah ketika PT DI memperkenalkan N-219 Nurtanio. Sebuah pesawat terbang serbaguna berkapasitas 19 penumpang dengan 2 mesin turboprop.
Pesawat ini dibuat untuk mengangkut penumpang dan kargo yang bisa mendarat di lintasan pendek. Karenanya produk ini sangat cocok untuk negara kepulauan yang memiliki daerah-daerah terpencil seperti Indonesia.
PT DI sukses melakukan uji terbang perdana pesawat N-219 pada 16 Agustus 2017. Meski baru terbang perdana pada tahun 2017, ide N-219 sendiri sudah dimunculkan PT DI sejak 2003.
Sebuah rancangan program yang menjadi bagin dari pembenahan yang dilakukan PT DI. Dan N-219 baru bisa dilaksanakan pada tahun 2006 setelah dilakukan kerjasama dengan Qatar dengan nilai investasi sebesar US$65 Juta.
Selanjutnya, pada Agustus 2016, Airbus Defense and Space juga menyatakan komitmennya untuk memberikan bantuan dalam penapaian sertifikat untuk model N-219. Setelah sebelumnya sempat membantu sertifikasi model N-250.
Akan tetapi sepertinya apa yang terjadi pada tahun 1998, akan terjadi lagi pada tahun sekarang.
Pangkalnya bukan lagi krisis ekonomi, tapi political will pemerintah dalam melindungi industri dirgantara yang sangat penting.
Tanpa ada alasan yang jelas, Budi Santoso, Dirut PTDI yang berhasil membangkitkan kembali PT DI dari keterpurukan, yang merupakan kader Habibie ditahan KPK karena tudingan korupsi.