Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menelusuri Jalur Pelesir Raja Agung Majapahit Hayam Wuruk (1)
Pu Prapanca mencatat perjalanan pesiar Raja Hayam Wuruk ke desa-desa dalam naskah Desawarnnana, kelak populer disebut kitab Negarakrtagama.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Tak ada lagi bangunan candi yang tegak di situ, hanya tersisa batu-batunya saja dari andesit, kepala kala, dan pecahan-pecahan keramik Cina masa dinasti Yuan (13-14 Masehi) dan kepingan-kepingan wadah tembikar halus tipe Majapahit.
Setelah menikmati pemandangan alam sebentar, berupa tempuran (tempat pertemuan sungai-sungai kecil menyatu di Sungai Brangkal), rombongan yang “ketinggalan” itu masuk mobil untuk kemudian menggelinding ke arah tenggara, mencari lokasi Pikatan dan Wewe.
“Menurut laporan purbakala yang disusun orang Belanda, Pikatan ada di sekitar sini,” kata Budi Santoso Wibowo, ketika melewati Desa Karangbening di Kecamatan Gondang.
Di tempat itu memang ditemukan nama Pikatan, yaitu nama sungai yang bertemu sungai-sungai yang ada di Candilima.
Di luar dugaan, Wewe berhasil ditemukan. Lokasinya di tepi Sungai Pikatan. Tepatnya di Desa Karangbening, Kecamatan Gondang, berjarak 2,4 km dari Candilima.
Di lihat dari peta, tampak jelas Candilima, Pikatan dan Wewe terletak pada lahan berbentuk kipas fluvio vulkanik.
Prof Dr Sutikno dari Fakultas Geografi UGM, dalam buku 700 Tahun Majapahit (1993) menyatakan bentuk lahan kipas fluvio vulkanik mempunyai ciri-ciri topografi menyerupai bentuk kipas yang terbentuk oleh proses fluvial dengan material bahan vulkanik.
Pembentukan kipas itu diakibatkan aliran sungai yang berasal dari gunung api Anjasmoro dan Welirang, yang mengalir ke arah barat melalui daerah dengan perubahan topografi yang tegas.
Semula sungai-sungai tersebut mengalir di daerah yang relatif berlereng terjal kemudian mengalir pada daerah yang relatif datar seperti yang terjadi di hulu sungai Brangkal di sebelah tenggara Trowulan (Sutikno1993:20).
Pembentukan kipas fluvio vulkanik dimulai dari pertemuan Sungai Brangkal dan Sungai Boro di sekitar daerah Desa Baurena dan Desa Jetis.
Para penumpang keluar mobil dan menyebar mencari pecahan-pecahan keramik di Dusun Wewe.
Hingga sampai pada satu tempat di belakang rumah salah seorang penduduk, tim Hiace ternganga sekaligus bikin kepala pening melihat peninggalan yang ada.
Sisa-sisa bangunan tempat tinggal kuna berkesan mewah dari bata, persis seperti permukiman kaum elite Majapahit yang terdapat di Situs Trowulan kota Majapahit, hanya dalam ukuran yang lebih kecil.
Bangunan megah masa Majapahit itu dilengkapi pula oleh sumur-sumur berdinding tanah liat, dan perlengkapan rumah tangga berupa keramik-keramik dari Cina dan Vietnam yang terserak begitu saja di permukaan tanah.