Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menelusuri Jalur Pelesir Raja Agung Majapahit Hayam Wuruk (1)
Pu Prapanca mencatat perjalanan pesiar Raja Hayam Wuruk ke desa-desa dalam naskah Desawarnnana, kelak populer disebut kitab Negarakrtagama.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Sudah barang tentu tinggal pecahan-pecahannya saja. “Di sini tempat keraton cilik Majapahit”, ujar seorang tua menjelaskan.
Para anggota tim Hiace mengiyakan dalam hati. Akan tetapi yang bikin kepala pening adalah melihat bata-bata kuna yang ditumpuk meninggi, siap untuk di angkut truk.
“Dulu truk-truk yang datang lebih banyak daripada sekarang,” kata orang tua itu lagi. Dulu, bata-bata kuna di situs Trowulan laku keras untuk bahan semen growol (semen merah).
Penggalian bata itu melenyapkan lapisan tanah budaya masa Majapahit, batin seorang anggota tim. Pemusnahan budaya Majapahit ternyata masih berlangsung sampai sekarang.
Lesu, para anggota tim kembali ke mobil. Di pinggir mobil, sudah bertumpuk kantung-kantung plastik hitam sarat dengan pecahan keramik kuna berhias warna warni.
Hadiah dari gadis-gadis kecil desa yang mungkin kasihan melihat tim bersusah payah memungut keping-keping porselin dan tembikar di sepanjang jalan.
Profesor dari Belanda juga ikut “menyusul”. Rombongan tim Hiace memang bukan satu-satunya yang pernah mencoba “menyusul” perjalanan Hayam Wuruk.
Kisah perjalanan raja agung ke desa-desa timur Jawa yang termuat dalam Nagarakretagama, telah memikat orang untuk menelusurinya.
Ada 22 pupuh dari 98 pupuh dalam Nagarakretagama yang mengisahkan “kunjungan wisata” Hayam Wuruk ke daerah-daerah timur Jawa dan kembali ke Singhasari.
Dari jumlah pupuh itu tercatat 175 nama tempat, sebagian besar desa dan sisanya kota atau tempat-tempat suci.
Kisah perjalanan itu telah memikat sarjana-sarjana terkenal, seperti NJ Krom dan JF Niermeyer untuk merekonstruksi perjalanan tersebut.
Sarjana yang disebutkan belakangan, yaitu profesor dari Utrecht Belanda, bahkan telah menyusun peta “napak tilas” yang diterbitkan pada tahun 1913 pada Tijdscrift Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, deel XXX.
Rupanya tidak mudah merekonstruksi rute sang Baginda. JF Niermeyer kesulitan mencocokkan nama tempat dalam Nagarakretagama dengan tempat-tempat yang ada sekarang.
Maklum saja, nama-nama Jawa Kuna itu telah banyak yang tidak tercatat lagi dalam peta. Dengan mengandalkan toponim dan peta topografi, sang profesor hanya mampu membuat rute yang bersifat hipotetis belaka.