Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mencari Format Penyelesaian yang Adil dan Bermartabat terhadap Permasalahan Papua
Otsus semestinya dilihat sebagai bagian dari hak menentukan nasib sendiri (mengurus diri sendiri) secara mandiri di dalam yurisdiksi NKRI.
Editor: Hasanudin Aco
Meskipun telah ada penelitian dari Profesor Drooglever, yang menyimpulkan bahwa Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 adalah curang. Namun ternyata hasil penelitian itu tidak berdampak politis apapun terhadap masalah Papua.
Sebaliknya, seharusnya orang Papua berterima kasih kepada Bung Karno yang mati-matian mempertaruhkan jiwa raganya untuk membebaskan saudara-saudaranya di Irian Barat (Papua sekarang), dari belenggu kolonialisme Belanda saat itu.
Mengingat Bung Karno menganggap Irian Barat adalah bagian integral dari wilayah NKRI yang merupakan warisan kolonialisme Belanda, berdasarkan asas hukum internasional utis pussidetis juris.
Namun sangat disayangkan niat baik itu disia-siakan oleh pemimpin-pemimpin penerusnya, terutama pada masa pemerintahan Soeharto.
Memoria passionis
Kita masih ingat kata-kata Bung Karno menjelang dikumandangkan Trikora 19 Desembr tahun 1961 di alun-alun Yogjakarta.
Bung Karno berkata: “Apalah artinya kemerdekaan dari tubuh ini jika masih ada bagian dari tubuh ini yang belum merdeka, dan bagian yang belum merdeka itu adalah Irian Barat (Papua).
Karena itu, marilah kita bubarkan negara boneka Papua buatan Belanda kolonial, kibarkan sang merah putih di irian barat tanah air Indonesia, dan bersiaplah untuk memobilisasi umum.”
Namun pada kenyataannya, setelah kembali kepada pangkuan ibu Pertiwi, sejak 1 Mei 1963 sampai hari ini rakyat Papua memiliki ingatan bersama (memoria passionis) bahwa mereka tidak dianggap dan diperlakukan sebagai saudara sebangsa. Justru sebaliknya merasa dijajah.
Kondisi itu nampak terutama di masa rezim Orde Baru yang berwatak militeristik. Rezim tersebut kerap mengirimkan kekuatan militer ke Papua dalam skala besar, yang motivasinya semata-mata mengamankan eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) baik pertambangan minyak dan gas bumi, mineral dan batu bara, perikanan dan kehutanan. Kemudian dengan alasan keamanan semata, menjadikan Papua sebagai daerah operasi militer.
Akibat dari pendekatan militeristik itu, menyebabkan banyak peristiwa pelanggaran HAM yang berlangsung dari tahun 1969 sampai hari ini. Itulah yang menyebabkan pada sidang tahunan komisi HAM PBB tahun 2020, Komisi HAM PBB meminta kepada pemerintah RI untuk menjelaskan 18 kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.
Pertanyaan komisi HAM PBB itu sepertinya menampar muka kita sebagai bangsa yang selama ini berjuang untuk kemerdekaan bangsa-bangsa lain di dunia berdasarkan alinea pertama pembukaan UUD 1945, yang mengatakan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah bangsa Papua tidak boleh merdeka dari rasa takut dari pendekatan yang represif-militeristik? Merdeka dari rasa lapar? merdeka untuk menyatakan pendapat baik lisan maupun tertulis, sebagaimana yang diperlakukan perjuangan terhadap bangsa-bangsa lain di dunia selama ini?
Pandangan ini tidak berarti bahwa Papua harus melepaskan diri dari NKRI, akan tetapi sebaliknya Otsus yang diberlakukan sejak 2001 harus dipandang sebagai resolusi konflik (conflict resolution).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.