Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Sinkronisasi Pengembangan Industri Rumput Laut Bagi Kesejahteraan Masyarakat Daerah Pesisir

Salah satu potensi laut yang perlu digali dan dikembangkan adalah komoditas rumput laut.

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Sinkronisasi Pengembangan Industri Rumput Laut Bagi Kesejahteraan Masyarakat Daerah Pesisir
Ist
Dr. Rustam, SE, MSE 

Oleh: Dr. Rustam, SE, MSE *)

UNGKAPAN seniman Koes Plus melalui kutipan syair lagunya "kail dan jala cukup menghidupimu - ikan dan udang menghampiri dirimu" seakan menegaskan betapa kayanya potensi laut Indonesia.

Faktanya memang luas wilayah Indonesia sekitar 8.300 ribu km2 terdiri dari 77,11 persen daerah perairan dan hanya 22,89 persen daratan.

Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir menikmati keajaiban alam Indonesia yang memiliki hampir 110.000 km garis pantai (BIG, 2017).

Selain menjadi negara dengan pulau terbanyak, Indonesia juga memiliki garis pantai terpanjang di dunia, setelah Kanada dengan garis pantai sekitar 202.080 km.

Kondisi geografis yang demikian, membuat laut memiliki peran penting dalam mengantar kemajuan suatu negara melalui potensi yang dimiliki.

Jika potensi atau kekuatan laut mampu diberdayakan, tentu akan memberi dampak positif khususnya bagi masyarakat yang berada di sekitar pesisir. Sudah sepatutnya laut menjadi penopang hidup bangsa Indonesia.

Berita Rekomendasi

Salah satu potensi laut yang perlu digali dan dikembangkan adalah komoditas rumput laut.

Kita patut menghargai political will pemerintah melalui terbitnya Peraturan Presiden No.33 tahun 2019 yang memuat peta panduan (road map) pengembangan industri rumput laut nasional tahun 2018-2021.

Upaya ini dimaksudkan untuk mendorong tumbuhnya ekonomi masyarakat pesisir, wilayah perbatasan, dan daerah tertinggal.

Peta panduan ini terutama ditujukan untuk membangun koordinasi, integrasi, dan kolaborasi dari berbagai stakeholder baik pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten/kota), pelaku usaha, asosiasi, dan swasta.

Targetnya adalah menciptakan nilai tambah untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional, terutama yang bersumber dari subsektor perikanan melalui peningkatan produksi rumput laut dan kualitasnya.

Kandungan gizi dari rumput laut sangat kaya dengan protein, karbohidrat, serat, vitamin (A, B, C, E, K), magnesium, yodium, kalsium, mangan, zat besi, tembaga, kolin, serta fosfor.

Rumput Laut Komoditas Unggulan

Pentingnya pembahasan komoditas rumput laut tetap diupayakan di tengah pandemi Covid-19 melalui suatu webinar bertajuk “Data Rumput Laut Sebagai Pendukung Peningkatan Pengelolaan Perikanan”, hasil kolaborasi BPS, Bappenas, dan KKP yang dilaksanakan Rabu 25 November 2020.

Saat membuka acara webinar, Bapak M Habibullah selaku Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, ditekankan bahwa BPS siap berkolaborasi dengan KKP dan stakeholder terkait dalam mendukung pengumpulan data rumput laut yang berkualitas, sekaligus sebagai implementasi pelaksanaan tugas pembinaan data statistik sektoral sesuai Perpres No. 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia.

Secara khusus, kolaborasi BPS dan KKP secara konsisten dan komitmen menapaki peta jalan (road map) penerapan tata kelola Satu Data Indonesia dalam mewujudkan Satu Data Perikanan Nasional.

Webinar bertajuk Data Rumput Laut Sebagai Pendukung Peningkatan Pengelolaan Perikanan, hasil kolaborasi BPS, Bappenas, dan KKP yang dilaksanakan Rabu 25 November 2020.
Webinar bertajuk Data Rumput Laut Sebagai Pendukung Peningkatan Pengelolaan Perikanan, hasil kolaborasi BPS, Bappenas, dan KKP yang dilaksanakan Rabu 25 November 2020. (Istimewa)

Hadir juga Bapak Yudi Priatno Kaelan yang mewakili Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi KKP (Bapak Budi Sulistiyo berhalangan hadir), yang menjelaskan bahwa produksi rumput laut merupakan salah satu indikator kinerja utama Ditjen Perikanan Budidaya 2020-2024.

Disamping identifikasi berbagai kendala/hambatan terus dilakukan, KKP terus berupaya bagi pengembangan potensi rumput laut, industri rumput laut berkelanjutan, dan peningkatan ekspor rumput laut dalam meningkatkan devisa negara.

Kehadiran Direktur Perencanaan Makro dan Analisis Statistik Bappenas, Bapak Eka Chandra Buana, semakin memperkaya pembahasan dari aspek perencanaan makro pengembangan rumput laut ke depan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari program prioritas nasional.

Webinar yang sangat antusias dihadiri oleh peserta dari BPS Pusat, BPS Provinsi, KKP, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi seluruh Indonesia dimoderatori Bapak Simon Sapary selaku Direktur Statistik Peternakan, Perikanan, dan Kehutanan BPS, sekaligus sebagai penanggung jawab teknis dan pembina data sektoral ini di BPS Pusat.

Dalam RPJMN 2020-2024 ditekankan bahwa salah satu pengelolaan sumberdaya ekonomi perikanan dan kelautan, komoditas rumput laut merupakan komoditas unggulan dan bernilai ekonomis untuk mendukung target ekspor dan ketahanan pangan.

Suatu keniscayaan pemerintah menargetkan sasaran produksi rumput laut meningkat dari 9,9 juta ton (2019) menjadi 12,3 juta ton (2024).

Persentase pertumbuhan produksi budidaya perikanan (ikan dan rumput laut) per tahun ditargetkan dari 0,4% (2019) menjadi 5,3% (2024).

Peningkatan produksi dan nilai tambah rumput laut ini akan ikut menopang target peningkatan PDB subsektor perikanan dari 5,2% (2019) menjadi 8,7% (2024).

Secara koheren diharapkan akan berdampak kepada peningkatan kesejahteraan nelayan dengan target peningkatan nilai tukar nelayan dari 100 (2019) menjadi 107 (2024).

Hilirisasi industri rumput laut menjadi salah satu strategi penting dalam mendukung pengembangan industri rumput laut, sekaligus membantu membangkitkan kegiatan ekonomi bagi masyarakat daerah pesisir, tertinggal, maupun perbatasan.

Dalam konteks tulisan ini, perlu sinkronisasi antara pengembangan industri rumput laut dengan peningkatan kesejahteraan nelayan/pembudidaya rumput laut.

Potret Nelayan/Pembudidaya Rumput Laut

Hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) tahun 2018 yang dilaksanakan BPS mencatat 1,6 juta rumah tangga usaha perikanan, terdiri dari 863,7 ribu rumah tangga perikanan budidaya dan 780,1 ribu rumah tangga perikanan tangkap.

Jumlah rumah tangga usaha rumput laut di laut (tidak tersedia data di tambak) sebesar 39,8 ribu atau 4,61% dari total rumah tangga perikanan budidaya.

Penyebaran rumah tangga usaha rumput laut dari hasil SUTAS 2018 tercatat di 19 provinsi, terbesar ada di provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 19,4 ribu rumah tangga, kemudian disusul provinsi Nusa Tenggara Timur sebanyak 8,6 ribu rumah tangga.

Rata-rata luas baku usaha budidaya pembesaran rumput laut sebesar 4,2 ribu m2 secara nasional.

Berbeda dengan sebaran jumlah rumah tangga usaha rumput laut, rata-rata luas baku usaha budidaya pembesaran rumput laut terbesar tercatat di provinsi Jawa Barat (34,7 ribu m2), kemudian disusul provinsi Jawa Tengah (11,8 ribu m2).

Potensi Produksi dan Ekspor Rumput Laut

Mendukung keberhasilan program prioritas nasional dari Presiden, Ditjen Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan terus berupaya memperkuat kebijakan pembangunan perikanan nasional dengan menyambungkan infrastruktur dengan kawasan produksi rakyat, tambak/kolam perikanan, memperkuat komunikasi dan kolaborasi dengan stakeholder perikanan, serta optimalisasai dan penguatan perikanan budidaya.

Transformasi arah kebijakan pembangunan perikanan budidaya diubah dari semula berorientasi kepada peningkatan produksi menjadi pengelolaan sumberdaya perikanan budidaya berkelanjutan dengan mempertimbangkan potensi daya dukung lingkungan, ekonomi, dan sosial di wilayah pengelolaan perikanan budidaya.

Potensi produksi rumput laut membutuhkan inovasi teknologi produksi, disamping inovasi teknologi industri pengolahan rumput laut untuk meningkatkan nilai tambah.

Keterlibatan semua stakeholder usaha rumput laut akan memudahkan koordinasi dan kolaborasi untuk meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi pelaku usaha, termasuk nelayan/pembudidaya rumput laut agar mampu bangkit dari kemiskinan dan ketertinggalan secara sosial dan ekonomi.

Pemetaan kawasan potensi pengembangan rumput laut perlu diupdate secara terus menerus sehingga tidak merusak lingkungan biota laut dan dapat diusahakan secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan daya dukung di sekitarnya.

Kawasan Potensi Pengembangan Rumput Laut.
Kawasan Potensi Pengembangan Rumput Laut. (Sumber: Bahan paparan webinar KKP (25 November 2020))

Potensi produksi rumput laut harus dikembangkan dengan berorientasi pada permintaan pasar (market oriented) dan berdaya saing tinggi.

Ke depan, usaha budidaya rumput laut ini diharapkan menjadi salah satu kegiatan ekonomi andalan yang menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat daerah pesisir, tertinggal, maupun perbatasan.

Tersedianya lapangan kerja akan memberikan pendapatan sehingga akan meningkatkan kesejahteraan.

Pendapatan yang diperoleh juga akan memastikan upaya kebutuhan mendasar masyarakat bagi kehidupan yang layak, terutama terkait kebutuhan pangan, dan hal ini menjadi salah satu aspek penting terwujudnya ketahanan pangan.

Volume produksi komoditas perikanan budidaya nasional pada periode 2014-2019 cenderung meningkat dan tumbuh sebesar 2,67%, sebaliknya volume produksi rumput laut pada periode yang sama mengalami kontraksi minus 0,14% (KKP, 2020).

Fenomena data ini patut menjadi perhatian lebih dari pemerintah, khususnya KKP, karena akan mempengaruhi kinerja atau PDB subsektor perikanan.

Hasil rilis BPS terkini, laju pertumbuhan PDB subsektor perikanan (year on year) pada tahun 2019 sebesar 5,81 persen.

Secara triwulanan tahun 2019 masih cukup baik dan laju pertumbuhannya relatif sama dan stabil.

Berbeda dengan kondisi tahun 2020 dengan adanya dampak pandemi Covid-19, laju pertumbuhan PDB subsektor perikanan selama dua triwulan terakhir mengalami kontraksi yang semakin dalam, berturut-turut sebesar minus 0,63% dan 1,03%, kecuali pada triwulan I/2020 tumbuh sebesar 3,52 persen.

Tantangan pada tahun berikutnya akan semakin berat karena dampak pandemi Covid-19 yang masih belum yakin tertangani secara tuntas hingga akhir tahun 2020.

Indikasi awal menunjukkan bahwa volume produksi rumput laut diperkirakan akan menurun pada tahun 2020 di tengah pandemi Covid-19.

Volume Produksi dan Ekspor Rumput Laut Tahun 2014 - 2020.
Volume Produksi dan Ekspor Rumput Laut Tahun 2014 - 2020. (Istimewa)

Tujuan lain dari optimalisasi kawasan potensi pengembangan rumput laut adalah peningkatan ekspor.

Kinerja ekspor rumput laut Indonesia pada tahun 2018 dalam bentuk bahan mentah (raw materials) menduduki peringkat pertama dunia, yakni mencapai 205,76 ribu ton (dikutip dari Lampiran Perpres No. 33 tahun 2019).

Volume ekspor komoditas perikanan budidaya nasional pada periode 2014-2019 berfluktuasi dan cenderung menurun dengan kontraksi sebesar minus 1,14%, sebaliknya volume ekspor rumput laut pada periode yang sama mengalami pertumbuhan sebesar 0,53%.

Pada periode yang sama, nilai ekspor komoditas perikanan budidaya nasional dan rumput laut mengalami pertumbuhan berturut-turut sebesar 1,64% dan 6,53%.

Penurunan volume ekspor komoditas perikanan budidaya tidak diikuti oleh penurunan nilai ekspornya.

Kondisi ini terjadi diduga karena harga komoditas perikanan budidaya dari tahun ke tahun meningkat secara signifikan.

Sedangkan peningkatan ekspor rumput laut diikuti juga oleh peningkatan nilai ekspornya.

Perkembangan harga yang cenderung meningkat secara signifikan menjadi peluang dan insentif bagi peningkatan volume produksi komoditas perikanan budidaya dan rumput laut.

Kesejahteraan Nelayan/Pembudidaya Rumput Laut

Mendalami indikator kesejahteraan sering dikontraskan dengan kemiskinan atau ketidakmampuan rumah tangga atau penduduk untuk memenuhi suatu nilai pengeluaran minimum kebutuhan makanan dan bukan makanan atau memenuhi kebutuhan hidup layak minimum sehari-hari.

BPS merilis terjadi peningkatan data kemiskinan dari 25,14 juta orang (9,41%) pada Maret 2019 menjadi 26,42 juta orang (9,78%) pada Maret 2020.

Pada periode yang sama, peningkatan jumlah penduduk miskin di perkotaan (1,17 juta orang) lebih tinggi dibandingkan perdesaan (0,11 juta orang).

Namun, persentase penduduk miskin di perdesaan hampir dua kali lipat di perkotaan( BPS: Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2020, 15 Juli 2020).

Menarik untuk mendalami profil rumah tangga miskin.

Hasil rilis BPS mencatat 49,41% rumah tangga miskin menggantungkan hidup dari sektor pertanian pada Maret 2019.

Rumah tangga miskin memiliki jumlah anggota keluarga sebanyak 4-5 orang dan cenderung lebih banyak dibandingkan rumah tangga tidak miskin.

Rumah tangga miskin yang dikepalai oleh perempuan tercatat 16,19%. Ada 12,42 persen kepala rumah tangga miskin yang belum bebas dari buta huruf.

Dari faktor kesehatan, hanya 66,11% rumah tangga miskin yang sudah menggunakan jamban sendiri.

Berbagai informasi ini menggambarkan ketidakmampuan atau ketertinggalan mereka yang dikategorikan miskin.

Dominasi insiden kemiskinan di sektor pertanian diduga cenderung memotret keberadaan mereka di daerah pesisir, tertinggal, maupun perbatasan.

Hasil Potensi Desa (PODES) tahun 2018 yang dirilis BPS mencatat 12.857 desa/kelurahan yang sebagian atau seluruh wilayahnya bersinggungan langsung dengan laut, baik berupa pantai maupun tebing karang atau sekitar 15,32% dari total desa/kelurahan di Indonesia yang berjumlah 83.931 desa/kelurahan.

Perkembangan desa/kelurahan tepi laut tersebut atau lebih dikenal dengan istilah desa maritim mengalami peningkatan dari 11.884 desa/kelurahan tahun 2011.

Permasalahan kemiskinan dan pendidikan yang rendah juga tidak luput dari desa maritim.

Para nelayan atau pembudidaya perikanan dan kelautan semakin menderita karena pemenuhan kebutuhan hidupnya seringkali mengandalkan bantuan tengkulak/rentenir.

Nelayan/Pembudidaya Rumput Laut merupakan bagian dari masyarakat di daerah pesisir yang patut mendapat perhatian pemerintah, dan akan menjadi target program rencana aksi pengembangan budidaya dan pasaca panen rumput laut.

Keberpihakan dan komitmen pemerintah memperhatikan para nelayan/pembudidaya rumput laut ini akan mendorong peningkatan kesejahteraan mereka sehingga terbebas dari kemiskinan dan ketertinggalan.

Pada akhirnya, kondisi ini akan meningkatkan peran dan kontribusi para nelayan/pembudidaya rumput laut ini dalam mendukung pemenuhan kebutuhan bahan baku mentah (raw material) bagi pengembangan industri rumput laut.

Menakar kesejahteraan petani atau rumah tangga pertanian selama ini masih menggunakan nilai tukar petani (NTP).

NTP secara umum menunjukkan daya tukar dari nilai produk pertanian yang dihasilkan dengan biaya produksi dan barang/jasa yang dikonsumsi.

Dapat dikatakan bahwa NTP merupakan perbandingan antara indeks harga yang diterima petani (It) terhadap indeks yang dibayar pleh petani (Ib).

Penggunaan indikator NTP ini juga diamanatkan dalam RPJMN 2020-2024 dan menargetkan peningkatan NTP dari 100 (baseline 2018=100, capaian tahun 2018) menjadi 105 pada tahun 2024.

NTP digunakan sebagai dasar penentuan kebijakan pemerintah dalam melakukan monitoring dan evaluasi berbagai program di bidang pertanian dan dampaknya terhadap kesejahteraan petani.

BPS telah melakukan perubahan tahun dasar penghitungan NTP dari 2012=100 sejak tahun 2013 menjadi 2018=100 sejak tahun 2020.

Nilai Tukar Pembudidaya Ikan dan Nilai Tukar Nelayan.
Nilai Tukar Pembudidaya Ikan dan Nilai Tukar Nelayan. (Istimewa)

Perubahan tahun dasar ini dimaksudkan untuk menangkap terjadinya perubahan/pergeseran pola produksi pertanian serta pola konsumsi rumah tangga pertanian di perdesaan sejalan dengan perkembangan ekonomi dan kemajuan teknologi yang begitu pesat.

Disamping itu, perubahan ini juga dilakukan untuk mengakomodir perluasan cakupan subsektor pertanian dan representasi wilayah dalam rangka meningkatkan akurasi data dan mampu mencerminkan kondisi terkini.

Indikator kesejahteraan nelayan/pembudidaya rumput laut belum tersedia secara rinci dari NTP yang dirilis BPS.

Tak ada salahnya, sebagai indikator proksi dapat diamati melalui nilai tukar nelayan (NTN) atau nilai tukar pembudidaya ikan (NTPI).

Selama Januari-Desember 2019 sebelum terjadinya pandemi Covid-19 tampak bahwa NTN dan NTPI (2012=100) menunjukkan  nilai indeks diatas 100.

Artinya, nelayan dan pembudidaya ikan mengalami kenaikan dalam hal perdagangan, yaitu tingkat rata-rata harga yang diterima mengalami kenaikan yang lebih cepat daripada tingkat rata-rata harga yang dibayarkan terhadap tahun dasar atau tingkat rata-rata harga yang diterima mengalami penurunan yang lebih lambat daripada tingkat rata-rata harga yang dibayarkan terhadap tahun dasar.

NTN selama tahun 2019 terjadi fluktuasi indeks bulanan, peningkatan indeks berkisar antara 0,15% (terendah di bulan Februari) s.d. 0,69% (tertinggi di bulan Agustus).

Namun, pada bulan-bulan tertentu juga terjadi penurunan indeks berkisar antara minus 0,70% (terendah di bulan Maret) s.d. minus 0,16% (tertinggi di bulan Juli).

NTPI selama tahun 2019 juga terjadi fluktuasi secara bulanan, pola peningkatan dan penurunan indeks relatif sama.

Di tengah pandemi Covid-19 yang ditengarai oleh berbagai para ahli dimulai pada bulan Maret 2020 di Indonesia, NTN pada tiga bulan berturut-turut (April, Mei, Juni) indeksnya mengalami penurunan atau indeknya kurang dari 100.

Penurunan NTN antar bulan di tahun 2020 di tengah pandemi Covid-19 terjadi pada tiga bulan berturut-turut, yaitu Februari (minus 0,79%), Maret (minus 0,26%), dan April (minus 1,56%).

NTN pada bulan-bulan yang lain indeksnya mengalami peningkatan dan tumbuh berkisar antara 0,01% (terendah di bulan Oktober) s.d. 0,80% (terendah di bulan Juli).

Pertumbuhan indeks bulanan pada periode Juli-Oktober 2020 semakin melambat.

NTPI selama tahun 2020 juga terjadi fluktuasi secara bulanan, pola peningkatan dan penurunan indeks relatif sama.

Ke depan, semoga berbagai upaya pemerintah diharapkan mampu mengangkat kesejahteraan petani.

Perlu Keberpihakan Pemerintah dan Sinkronisasi Program

Pemerintah harus mengambil peran penting bagi pengembangan masyarakat di daerah pesisir sesuai Nawa Cita, antara lain: pemanfaatan dana desa secara optimal (misalnya, pembentukan koperasi desa yang profesional), pembangunan infrastruktur yang memadai (pelabuhan/dermaga kecil sebagai akses transportasi), dan pembangunan sarana untuk fasilitas kesehatan dan pendidikan.

Ketiga prioritas pembangunan desa pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia akan menjadi poros maritim bagi penguatan ketahanan ekonomi nasional.

Tentu saja, pemberdayaan masyarakat di desa pesisir dengan adanya pengembangan industri rumput laut diharapkan akan meningkatkan kapasitas masyarakat tersebut dalam upaya meningkatkan kualitas hidup, kemandirian, dan kesejahteraan (BPS: Kajian Sosial Ekonomi Desa Maritim, 2015).

Hilirisasi industri rumput laut sesuai amanah Perpres No. 33 tahun 2019 adalah suatu keniscayaan sehingga strategi pengembangan industri rumput laut nasional 2018-2021 dapat tercapai sesuai target yang diharapkan.

Pendekatan kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam komoditas rumput laut secara lestari dan berkelanjutan patut didukung program pengembangan dan penguatan industri rumput laut oleh semua pihak, antara lain: industri pangan, pakan ternak dan ikan, pupuk, produk farmasi, dan produk kosmetik.

Berbagai program/kegiatan sudah disusun semaksimal mungkin dengan harapan bahwa kesejahteraan nelayan/pembudidaya rumput laut menjadi target akhir yang harus direalisasikan.

Tentu saja, daya dukung lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat di daerah pesisir harus disiapkan dan dijaga keberlanjutannya, antara lain: areal lahan produksi, tenaga kerja, sarana dan prasarana budidaya, penanganan hama dan penyakit, bimbingan dan pelatihan, dan upaya lainnya.

Keberpihakan pemerintah dan sinkronisasi program kepada nelayan/pembudidaya rumput laut sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas.

Pada akhirnya, salah satu target output meningkatkan pendapatan pembudidaya rumput laut minimal 5% per tahun menjadi suatu kenyataan secara bertahap dan berkelanjutan.

Saatnya penduduk Indonesia yang tinggal di perdesaan dan menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi sehingga petani mampu meningkatkan pendapatannya dan terbebas dari kemiskinan.

*) Penulis adalah lulusan Doktor dari Program Pascasarjana FEB UI yang saat ini ditugasi sebagai Kasubdit Statistik Peternakan di lingkup Direktorat Statistik Peternakan, Perikanan dan Kelautan, BPS RI.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas