Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kemenag Hambat Studi ke Al Azhar Mesir, PUSIBA Hadir Beri Solusi
Kemenag pada tahun kemarin menutup ujian seleksi tanpa menyebut sampai kapan batas waktu penutupan
Editor: Husein Sanusi
Kemenag menghambat studi ke al-Azhar Mesir, Pusiba memberi solusi
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
TRIBUNNEWS.COM - Masyarakat Indonesia membutuhkan manajemen Kementerian Agama yang kooperatif, tidak egois, dan tidak merugikan khususnya calon mahasiswa baru (Camaba) Al-Azhar dari Indonesia. Sampai detik ini, Kemenag belum mengubah kebijakan lama, dan belum mengumumkan kepastian ujian seleksi ke Mesir setelah ditutup tahun lalu.
Kemenag pada tahun kemarin menutup ujian seleksi tanpa menyebut sampai kapan batas waktu penutupan tersebut. Tidak adanya waktu yang ditentukan membuat publik ‘buta’, pasif, dan tidak mampu melakukan planing penyelenggaraan pendidikan.
Kebijakan lama Kemenag betul-betul merugikan, dan bisa menghambat kesempatan seluruh Camaba yang ingin melanjutkan pendidikannya ke Al-Azhar, Mesir. Hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa Al-Azhar merupakan pusat pendidikan bagi ideologi Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karenanya, kekhawatiran Kemenag yang berlebihan, yang berharap ingin tetap mengontrol pengaruh ideologi Islamisme radikal, tidak diperlukan.
Kebijakan lain dari Kemenag yang dinilai merugikan adalah sikapnya yang suka meminimalisir jumlah kuota, disaat al-azhar membuka peluang seluas-luasnya, Kebijakan itu selalu dilakukan dengan menerapkan mekanisme ujian seleksi.
Sebenarnya sah-sah saja menerapkan seleksi, bahkan sudah seharusnya, agar kader yang terpilih benar-benar duta pesantren dan memenuhi standart ideal. Tetapi masalahnya adalah, ujian seleksi versi Kemenag semacam kamuflase belaka. Sebab, standar seleksi Kemenag berada pada level kualitas yang sangat rendah.
Kualitas yang rendah itu bermula dari bentuk ujian seleksi yang bersifat multiple choice. Tentu saja model pilihan ganda ini tidak pas dengan standar al-Azhar yang bentuk ujiannya selalu esai. Ujian pilihan ganda gagal memastikan kualitas peserta yang lolos memiliki kapasitas yang ditetapkan oleh Al-Azhar. Boleh saja pilihan dilakukan secara ‘ngawur’, tetapi karena ada faktor keberuntungan, maka jawabannya benar dan peserta lulus.
Kualitas ujian seleksi versi Kemenag yang abal-abal tersebut membuat Camaba yang lulus harus kembali mengikuti ujian seleksi berikutnya, yang diselenggarakan Al-Azhar sendiri. Sebab, al-Azhar masih ragu dan mempertanyakan kembali kualitas seleksi Kemenag, apakah memang betul-betul layak masuk kampus atau belum?
Dapat dibayangkan betapa sangat memprihatinkan, ketika 1.500-an camaba dari Indonesia (hasil seleksi kemenag) mengikuti seleksi yang diadakan Al-Azhar, hanya sekitar 10 sampai 20-an orang yang berhasil lulus diterima universitas al-Azhar. Lantas, bagaimana nasib ribuan sisanya? Ternyata, Al-Azhar meminta mereka untuk kembali mengikuti sekolah bahasa selama 1-2 tahun disana. Artinya, inilah bukti nyata seleksi kemenag memang abal-abal dan berada di level terendah, dan resikonya adalah waktu yang terbuang bagi siswa disana harus sekolah bahasa dulu.
Kedua, Kemenag harus membuka mata bahwa soal-soal ujian seleksi dari mereka sudah menjadi rahasia umum, karena memang tidak pernah berubah kisi-kisi nya dari tahun ke tahun. Seluruh soal-soal sudah dimiliki oleh lembaga-lembaga yang memang memiliki orientasi ke Mesir. Lembaga-lembaga ini dengan sangat mudah meloloskan siswa-siswinya di tahap seleksi Kemenag.
Apa artinya? Kemenag gagal total menghadirkan camaba yang berkualitas. Berangkat dari kenyataan lapangan semacam ini, menurut hemat penulis, Kemenag sudah selayaknya berhenti ikut campur; berhenti menghambat keberangkatan camaba ke Mesir, karena kualitas sebagai regulator sangat buruk. Biarkan camaba dari Indonesia berkompetisi bebas di al-Azhar sesuai kapasitas mereka yang sudah dibekali di Indonesia.
Lebih-lebih Kemenag tidak punya inisiatif lebih dan jumud, Tidak ada program berkualitas terkait regulasi ke al-azhar. Karakter Kemenag yang mencolok di mata publik, khususnya bagi pengelola lembaga pendidikan pesantren, adalah orientasi-visi yang cenderung membatasi saja, supaya angka camaba yang diloloskan tidak meledak diatas 2000 disaat peminat tiap tahun diatas 20.000.
Misalnya, jika standar kelulusan Kemenag 6 poin tahun kemarin, tahun ini dinaikkan menjadi 7 poin. Jika kembali meledak, standar angka kelulusan akan kembali dinaikan menjadi 8 poin. Demikian terus-menerus. Alur berpikir Kemenag hanya berorientasi pada pembatasan kuota.