Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Takut Bayang-bayang Kudeta
Presiden dan pejabat lingkaran Istana bukan organ Partai Demokrat, dan bukan organ Mahkamah Partai Politik Partai Demokrat.
Editor: Setya Krisna Sumarga
OLEH : PETRUS SELESTINUS, Koordinator TPDI dan Advokat Peradi
AGUS Harimurti Yudhoyono (AHY) selaku Ketua Umum Partai Demokrat (PD) dalam konferensi persnya 2 Februari 2021, menyatakan telah mengirim surat kepada Presiden Jokowi.
Ia meminta klarifikasi dan konfirmasi tentang adanya dugaan keterlibatan pejabat di lingkaran Istana dalam gerakan pengambilalihan paksa kepemimpinan PD.
Kita patut sesalkan sikap Ketua Umum PD AHY, karena tidak pada tempatnya membawa persoalan konflik di internal PD kepada Presiden Jokowi.
Meski hanya sekedar meminta klarifikasi dan konfirmasi, soal dugaan keterlibatan pejabat di lingkaran Istana dalam gerakan pengambilalihan kepemimpinan PD.
Baca juga: Pengamat Politik: Kalau Belum Setahun Sudah Ada Gerakan Politik, Kekuasaan di Demokrat Tidak Bulat
Baca juga: Jokowi Tak Balas Surat AHY, Demokrat: Pak Moeldoko Itu Orang Istana, Bukan Internal Partai Demokrat
Baca juga: Belum Setahun Ketum Demokrat Diterpa Isu Kudeta Bukti Kemenangan AHY Bukan Aklamasi Sejati
Mengapa? Karena Presiden dan pejabat lingkaran Istana bukan organ PD dan bukan organ Mahkamah Partai Politik PD.
Menurut UU No 2 Tahun 2011 Tentang Parpol maupun AD-ART PD, bahwa Mahkamah Partai Politik merupakan organ yudikatif partai yang menyelenggarakan kekuasaan yudikatif partai.
Wewenangnya menyelesaikan perselisihan partai politik, menyangkut kepengurusan partai politik, yang putusannya bersifat final dan mengikat, karena itu bukan wewenang seorang Ketua Umum Partai.
Merespons surat AHY dimaksud, Jenderal (Purn) Moeldoko, selaku pribadi telah memberikan tanggapan atas keterangan pers.
Ia mengatakan jangan bawa-bawa nama Jokowi. Moeldoko mengaku menerima beberapa tamu, ngobrol-ngobrol dan karena itu ia meminta pemimpin jangan baperan, harus menjadi pemimpin yang kuat dan jangan mudah terombang ambing.
Sikap hiperaktif AHY, terkait dinamika politik kader-kader dan fungsionaris PD, bisa ditafsirkan sebagai sikap yang otoriter dan paranoid.
Sebab, ia terlalu jauh menarik ke luar isu kudeta sebagai persoalan internal PD ke Lingkaran Istana, padahal, secara yuridis dan organisatoris, isu kudeta dimaksud, termasuk dalam kualifikasi perselisihan partai politik, yang menjadi domain Mahkamah Partai PD.
Secara hukum, AHY seharusnya menyerahkan persoalan beberapa kader dan fungsionaris PD yang diduga melakukan gerakan merebut paksa Partai Demokrat, kepada Mahkamah Partai PD.
Mahkamah partai politiklah yang melaksanakan tugas penyelidikan dan meminta klarifikasi kepada semua pihak, karena itu salah besar jika soal ini diambil alih AHY, sebagai Ketua Umum PD.
Menuduh ada pejabat lingkaran Istana akan mengambil alih kepemimpinan PD dengan cara mengkudeta, kemudian menulis surat resmi meminta agar Presiden Jokowi mengklarifikasi isu kudeta dimaksud, merupakan langkah serampangan yang tidak memiliki dasar hukum, etika dan moral serta berpotensi melahirkan krisis kepercayaan publik terhadap PD dan AHY bisa di KLB-kan.
Hanya orang yang sedang mengidap paranoid, yang khawatir akan ada pihak luar kudeta kepengursan sebuah partai politik.
Karena, di dalam UU No. 2 tahun 2011 Tentang Parpol, dengan tegas melarang dan tidak mengakui anggota atau pengurus partai politik yang sudah diberhentikan dari keanggotaan atau kepengurusan partai politiknya membentuk kepengurusan dari partai politik yang sama.
Isu akan ada mantan kader PD melakukan kudeta terhadap kepemimpinan PD, menunjukan betapa AHY sedang depresi berat dan paranoid.
Ia semakin "tidak percaya diri" terhadap keabsahan proses pergantian kepemimpinan PD dari SBY kepada AHY, termasuk terhadap kursi Ketua Umum yang diduduki AHY saat ini.(*)