Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Sekilas Sejarah, Keutamaan Puasa dan Wirid Dalailul Khairat
Banyaknya umat muslim kala itu mengamalkan Dalailul Khairat. Jumlah murid yang menimba ilmu dari Syeikh Jazuli terhitung 12.765 orang
Editor: Husein Sanusi
![Sekilas Sejarah, Keutamaan Puasa dan Wirid Dalailul Khairat](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/kh-imam-j.jpg)
Pelaksanaan Puasa Dalail dibarengi dengan pembacaan wirid Dalailul Khairat setiap hari. Namun, sebelum melaksanakan Puasa Dalail, seorang pelaku harus terlebih dahulu meminta izin kepada guru atau mujiz, yang memberikan restu. Praktik Puasa Dalail ini berlandaskan hadits-hadits tentang keutamaan Shaumud Dahr atau Puasa Tahunan (Rafi’i, Tradisi Puasa Dalail Khairat di Pondok Pesantren Darul Falah, Kudus Jawa Tengah, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2019).
Pengamalan Dalail di Nusantara memiliki akar historis yang cukup panjang. Kitab Dalail Khairat menjadi saksi bisu atas perlawanan kaum pribumi terhadap kolonial Belanda. Pada 24 Juni 1784, Kompeni Belanda di bawah komando Van Braam mendarat di Teluk Ketapang, dengan membawa tentara sebanya 734 orang. Nakhoda kapal perang Belanda kala itu adalah Frederik Rudolf Karel, yang beroperasi untuk menghancurkan pasukan Raja Haji dari Malaka. Yang Dipertuan Muda Raja Haji adalah figur alim ulama, yang tiada henti membaca Dalailul Khairat.
Untuk mengobarkan semangat perang melawan kolonial Belanda, Raja Haji bangkit dengan Kitab Dalailul Khairat di tangan kanan dan badik di tangan kiri, hingga beliau wafat sembari memeluk kitab Dalail tersebut (Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah dalam Perang Riau Melawan Belanda 1782-1784, Pekanbaru: Pemprov Daerah Tingkat I, 1989:106).
Semangat perlawanan terhadap kolonial Belanda di Negeri Aceh, yang bergelar Serambi Makkah itu, jauh lebih tua lagi. Pada tahun 1603, Raja Turki singgah ke Aceh. Sebagai simbol perlawanan, setiap Meunasah dan Masjid mengadakan pembacaan Barzanji dan Dalailul Khairat (Qusthalani, Kumpulan Bulan dalam Kalender Aceh dan Keunikannya, Sukabumi: Jejak Publisher, 2018:35).
Sejarah panjang itulah membuat Dalailul Khairat di Aceh ini sudah menjadi bagian dari tradisi dan kesenian mereka, yang ditampilkan bersamaan dengan pembacaan pantun bersahut-sahutan, hikayat pelipur lara, Zikir Aceh, dan lainnya (Pemkot Aceh, Kota Banda Aceh Hampir 1000 Tahun, Banda Aceh: Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II, 1988:107).
Selain simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan kesenian umat muslim, tradisi mengamalkan Dalailul Khairat ini memiliki sanad keilmuan yang valid. Salah satu tokoh besar dari Padang, Guru Para Alim Ulama di Tanah Jawa, adalah Syeikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadangi, Sumatera Barat. Pada 27 Dzul Qa’dah 1387 H., Syeikh Yasin ini sudah menjadi sebagai Guru (Mudarris) di Makkah al-Mukarromah, yang sekaligus pemberi ijazah (mujiz) amalan Dalailul Khairat, termasuk kepada Kiyai Muslim dari Jawa (Sri Mulyati, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dengan Referensi Utama Suryalaya, Jakarta: Prenada Media, 2010: 175).
Tidak saja diamalkan dalam laku spiritual dan dibawa ke medan perang, kitab Dalailul Khairat ini diabadikan sebagai khazanah literasi intelektual para ulama-sufi kita di Nusantara. Salah satu buktinya, ketika Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari hendak mengarang kitab berjudul Ad-Durrun Nafis, kitab Dalailul Khairat menjadi salah satu rujukan pentingnya. Kitab Dalailul Khairat dikutip bersamaan dengan kitab-kitab besar lain seperti al-Hikam karya Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari, Insanul Kamil karya Abdul Karim al-Jili, al-Jawahir wa al-Durar karya Abdul Wahab Sya’rani, al-Minhah al-Muhamadiyah karya Ibnu Abdul Karim as-Sammani (Abdur Rahman, Biografi Agung Syeikh Arsyad al-Banjari, Selangor: Karya Bestari, 2016: 392).
Tradisi yang digagas Syeikh Nafis al-Banjari ini dilestarikan oleh penerusnya, Syeikh Muhammad Zaini Abdul Ghani al-Banjari, yang dikenal sebagai Guru Sekumpul. Ribuan jamaah Guru Sekumpul yang tersebar di seluruh nusantara bahkan dari luar negeri itu melestarikan pembacaan Maulid al-Habsyi, Sholawat Burdah, dan Dalailul Khairat (Asrori S. Karni, A Celebration of Democracy, Yogyakarta: Era Media Informasi, 2006:92) Dengan kata lain, Dalailul Khairat sudah membumi di luar Jawa.
Sebagaimana di Sumatera dan Kalimantan, para alim ulama di tanah Jawa juga masyhur mengamalkan Dalailul Khairat sejak zaman Wali songo hingga Hari ini, adapun yang paling mutakhir Beberapa yang bisa disebut antara lain: KH. Ahmad Badawi Basyir di Pondok Pesantren Darul Falah, Jekulo, Kudus, Jawa Tengah. Beliau adalah salah satu tokoh penting sekaligus mujiz (pemberi ijazah) dalam sejarah pelestarian amalan Dalailul Khairat. Di Pondok Pesantren Darul Falah ini, wirid Dalailul Khairat diiringi dengan amalan Puasa Dalail (Rifa’i, 2019: xix).
Selain Jawa Tengah, Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri Jawa Timur, juga mengamalkan tradisi Dalailul Khairat. Kiyai Marzuqi juga dikenal sebagai ulama yang mengamalkan sekaligus menjadi mujiz amalan Dalailul Khairat kepada para santri Lirboyo yang ribuan itu (Himasal Lirboyo, “KH. Muhammad Subadar: Empat Dunia KH. Marzuqi Dahlan dan KH. Mahrus Aly,” dalam www.lirboyo.net, 30 September 2019).
Perjuangan ulama lain dari Kediri yang patut dicatat dalam sejarah adalah sosok Kiyai Djazuli, ayahanda dari KH. Zainuddin Djazuli, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso. Menurut kisah Kiyai Zainuddin, ketika ayahandanya (Kiyai Djazuli) mondok ke Makkah, beliau mendapatkan kitab langsung dari Habibullah as-Syintiqiti. Padahal Syeikh As-Syintiqiti ini sudah wafat 200 tahun sebelumnya.
Karena itulah, ketika Kiyai Djazuli melanjutkan studi ke Madinah dari Makkah, yang kala itu tidak ada transportasi, masih gurun sahara yang harus ditempuh dengan jalan kaki, semua kitab disusun rapi dan ditinggal di Makkah, kecuali Dalailul Khairat. Ketika Kiyai Djazuli ditangkap di Madinah oleh Belanda dipulangkan ke Indonesia, semua kitab terpaksa ditinggal di Arab, hanya memakai kaos dan celana, kecuali kitab Dalailul Khairat (Muslim Moderat, “Belajar Agama Secara Instan itu Kurang Barokah,” www.muslimmoderat.net, 25 Maret 2016). Dan masih banyak lagi para Ulama di tanah Jawa yang mengamalkan Tirakat dalailul khairat, yang tidak mungkin disebutkan satu persatu saking banyaknya, bahkan banyak pula pesantren yang menjadikan tirakat puasa dalailul khairat sebagai tradisi kesehariannya.
Selain di kalangan umat muslim Indonesia, pengamalan Dalailul Khairat juga fenomenal di Timur Tengah. Sholeh Muayyad mengatakan, para ulama di Aljazair misalnya melakukan pembacaan kitab Dalailul Khairat setiap hari. Jika mereka merasa kesulitan, maka diselesaikan setengah atau seperempat dari isi kitab saja. Minimal mereka melakukan wiridan Dalailul Khairat satu kali setiap hari Jum’at.
Selama mengamalkan wiridan Dalailul Khairat, para ulama di Aljazair juga mengiringinya dengan puasa Senin-Kamis. Jika mereka merasa kesulitan, maka pembacaan Dalailul Khairat diiringi dengan Puasa Tiga Hari setiap bulan. Sedangkan keturunan Syeikh Muhammad bin Abi Zayyan mengiringi pembacaan Dalailul Khairat ini dengan Shaumud Dahr (Shalah Muayyad, at-Thuruq as-Shufiyah wa al-Zawaya bil Jazair: Tarikhuha wa Nasysyatuha, Irak: Dar al-Burraq, 2002: 214).
![Baca WhatsApp Tribunnews](https://asset-1.tstatic.net/img/wa_channel.png)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.