Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Sekilas Sejarah, Keutamaan Puasa dan Wirid Dalailul Khairat
Banyaknya umat muslim kala itu mengamalkan Dalailul Khairat. Jumlah murid yang menimba ilmu dari Syeikh Jazuli terhitung 12.765 orang
Editor: Husein Sanusi
![Sekilas Sejarah, Keutamaan Puasa dan Wirid Dalailul Khairat](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/kh-imam-j.jpg)
Keutamaan Shaumud Dahr ini diterangkan dalam banyak kitab. Ahmad bin Muhammad Qasthalani dalam Kitab Irsyad as-Sari li Syarhi Shahih al-Bukhari menyitir sebuah hadits dari Ummul Mukminin Aisyah ra., bahwa Hamzah bin Amr al-Aslami bertanya tentang Shaumud Dahr. Menurut al-Qashthalani, Shaumud Dahr tidak makruh bagi orang yang merasa tidak mudharat karenanya (Qasthalani, Irsyadus Sari, Mesir: al-Maṭbaʻah al-Kubra al-Amiriyah, 1887:383).
Imam Bukhari juga meriwayatkan hadits dari Anas ra. Berikut ini:
وَعَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ أَبُوْ طَلْحَةَ لَا يَصُوْمُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَجْلِ الْغَزْوِ، فَلَمَّا قُبِضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ أَرَهُ مُفْطِرًا إِلَّا يَوْمَ الْفِطْرِ أَوِ الْأَضْحَى. رَوَاهُ الْبُخَارِيْ.
Dari Anas ra., ia berkata, “Abu Thalhah tidak pernah berpuasa Sunah pada masa Nabi Saw hidup, karena selalu mengikuti peperangan. Ketika Rasulullah Saw wafat, saya belum pernah melihatnya berbuka kecuali hari Idul Fitri atau Idul Adha,” (HR. Al-Bukhari).
Sedangkan sabda Rasulullah saw. sendiri tentang Shaumud Dahr sebagai berikut:
مَنْ صَامَ الدَّهْرَ ضُيِّقَتْ عَلَيْهِ جَهَنَّمُ
“Barang siapa melakukan Shaumud Dahr maka neraka Jahanam tidak akan muat menampungnya,” (HR. Ahmad, Nasai, Ibnu Hibban, dan at-Thabrani). Menurut al-Baihaqi dan Ibnu Huzaimah, pengertian “neraka Jahanam tidak akan muat menampungnya” adalah bahwa seseorang yang melaksanakan Shaumud Dahr tidak akan masuk neraka. Menurut al-Haitsami, “rijaluhu rijalus Shahih,” para perawi hadits adalah orang-orang perawi hadits shahih.
Imam Bukhari meriwayatkan hadits dari Aisyah ra., bahwa Hamzah bin ‘Amr al-Aslami bertanya kepada Rasulullah saw.: “Wahai Rasulullah, saya ini berpuasa sepanjang tahun. Apakah saya boleh berpuasa saat perjalanan?” Rasulullah saw. menjawab:
صُمْ إِنْ شِئْتَ وَأَفْطِرْ إِنْ شِئْتَ
“Berpuasalah jika kamu berkenan, berbukalah jika kamu berkenan,” (HR. Bukhari, 1942 dan 1943; Muslim, 1121)
Hal penting yang harus dicatat adalah pengertian dan batasan Shaumud Dahr itu sendiri. Seseorang tetap dianggap berpuasa Shaumud Dahr dengan catatan tidak berpuasa di lima (5) hari yang terlarang; Idul Fitri, Idul Adha, dan Hari Tasyriq. Jika seseorang atas nama Shaumud Dahr tetap memasukkan hari-hari terlarang ini, maka berlakulah sabda Rasulullah saw. berikut ini:
لاَصَامَ مَنْ صَامَ اْلأَبَدَ
“Tidaklah dianggap berpuasa seseorang yang berpuasa sepanjang tahun,” (HR. Bukhari, 1977; Muslim, 1159).
Karena itulah, Imam Nawawi mengatakan bahwa Puasa Tahunan (Shaumud Dahr) tetaplah baik, selama berbuka puasa pada hari-hari yang terlarang (Idul Fitri, Idul Adha, dan Tiga Hari Tasyriq). Imam Ahmad bin Hambal menambahkan, pada hari-hari yang diharamkan berpuasa ini, para pelaku Shaumud Dahr akan berhenti berpuasa dan tidak merusak statusnya sebagai pelaku Shaumud Dahr.
Catatan penting lainnya, seseorang boleh melakukan Shaumud Dahr dengan tetap memastikan stamina tubuh yang fit. Jika atas nama Shaumud Dahr, seseorang mengabaikan kesehatan tubuh, maka berlaku sabda Nabi Saw berikut:
إِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ هَجَمَتْ لَهُ الْعَيْنُ وَنَفَهَتْ لَهُ النَّفْسُ لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الدَّهْرُ صَوْمُ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ صَوْمُ الدَّهْرُ كُلُّهُ
“Jika engkau melakukan puasa semacam itu maka engkau menghancurkan bola matamu sendiri karena puasa, melemahkan jiwamu karena puasa, tidak dianggap berpuasa orang yang berpuasa Dahr, puasa tiga hari setiap bulan adalah puasa Dahr itu sendiri,” (HR. Bukhari, 1878).
Hadits di atas ini berkaitan dengan Abdullah bin ‘Amr yang berpikir dirinya mampu mengerjakan Shaumud Dahr, namun dalam pandangan Rasulullah saw., Ibnu ‘Amr ini tidak akan mampu sehingga dilarang. Beda halnya dengan Hamzah bin ‘Amr, yang dalam pandangan Rasulullah saw. mampu melakukan Shaumud Dahr, sekalipun harus lelah karena perjalanan jauh, maka Rasulullah saw. mempersilahkan Hambar bin ‘Amr ini melakukan apa saja yang disukainya. Dua hukum berbeda terkait satu amalan yang sama, Shaumud Dahr.
Kesimpulannya, Puasa Dahr adalah amalan para sahabat Nabi Saw., dengan catatan harus sesuai syariat agama, yakni tidak berpuasa di hari-hari yang terlarang dan tetap harus menjaga kesehatan. Para ulama, selain berpuasa Dahr, mereka juga memperbanyak bacaan sholawat Nabi, di antaranya kitab Dalailul Khairat ini (Ahmad Abdurrahman Bana, al-Fath ar-Rabbani lii Tartib Musnad al-Imam Ahmad bin Hambal as-Syaibani, Qohirah: Mathba’ah Ikhwan Muslimin, 1935: 159).
Muhammad bin Abdussalam (w. 1346 H.) dalam kitab an-Ni’am al-Jalail fit Ta’rif Bis Syeikh Muallif Dalail mengatakan, Kitab Dalailul Khairat membawa banyak keberkahan. Selain akan mendapatkan limpahan cahaya penerang jiwa, seseorang yang mengamalkannya juga akan terkabul semua hajatnya, baik itu terkait kebutuhan duniawi maupun kepentingan akhirat kelak. Bahkan, orang-orang yang ingin mendapatkan keberuntungan dalam usaha, bisnis, dan perdagangan misalnya, insya Allah akan terkabul dengan mengamalkan Dalailul Khairat ini (Abdussalam, An-Ni’am al-Jalail, t.t.: 71.)
Sebenarnya, karomah pada Syeikh Jazuli dan kitab Dalailul Khairat ini tidak lepas dari syafaat Rasulullah saw. Sebab, kitab Dalailul itu sendiri hanyalah kumpulan sholawat Nabi. Sementara itu, membaca sholawat kepada Nabi Muhammad Saw merupakan perintah Allah SWT. “Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya,” (QS. Al-Ahzab: 33). Karena itulah, keampuhan mengamalkan Dalailul Khairat sebagai wiridan, ditambah dengan Puasa Dahr, tidak perlu diragukan lagi, terlebih sebagai sarana bagi kita semua untuk mendapatkan kebaikan dunia-akhirat.
Menggunakan bacaan sholawat sebagai wiridan tiap hari sudah pernah diamalkan oleh sahabat Nabi. Tujuan sahabat itu sendiri sebagian memang sebagai wasilah agar terbebas dari duka kehidupan dan masalah-masalah yang tak kunjung selesai.
Sebuah hadits diriwayatkan Imam At-Tirmidzi dengan sanad Hasan Shahih, dari Ubai bin Ka’ab Ra., ia bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, aku ingin memperbanyak sholawat kepadamu. Seberapa banyak harus aku lakukan?” Rasul menjawab: “Sesuka hatimu.” Kemudian Ubai bin Ka’ab berkata: “Seluruh sholawatku akan kupersembahkan untukmu”. Rasul menjawab: “Jika begitu, keresahan hatimu akan dihilangkan dan dosamu akan diampuni,” (HR. Tirmidzi).
Abul Qasim as-Subki dalam kitab ad-Durr al-Munazhzham fi al-Mawlid al-Mu’azhzham meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah saw.,
مَنْ صَلَّى عَلَى رُوْحِ مُحَمَّدٍ فِي الْأَرْوَاحِ، وَعَلَى جَسَدِهِ فِي اْلأَجْسَادِ، وَعَلَى قَبْرِهِ فِي الْقُبُوْرِ، رَآنِي فِي مَنَامِهِ، وَمَنْ رِآنِي فِي مَنَامِهِ رَآنِي فِي الْقِيَامَةِ، وَمَنْ رَآنِي فِي الْقِيَامِةِ شَفَعْتُ لَهُ، وَمَنْ شَفَعْتُ لَهُ شَرَبَ مِنْ حَوْضِي، وَحَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النَّارِ”
“Barang siapa bersholawat kepada Ruh Muhammad di alam arwah, kepada jasad Muhammad di alam jasad, kepada kuburan Muhammad di kubur, maka ia akan melihatku di dalam mimpinya, dan barang siapa yang melihatku di dalam mimpi maka ia akan melihatku di hari kiamat, dan barang siapa yang melihatku di hari kiamat, aku akan memberinya syafaat, dan barang siapa yang aku beri syafaat maka ia akan minum di telagaku, dan Allah akan haramkan jasadnya dari api negara.” Abdul Wahab as-Sya’rani, Kasy al-Ghummah ‘an Jami’il Ummah, Vol. 1, al-Mathba’ah al-Kastiliyyah, 1864:390).
Demikian tentang keutamaan kitab Dalailul Khairat, Puasa dan Wirid Dalail. Semua keberkahan dari Syeikh al-Jazuli maupun kitab monumentalnya tidak lepas dari syafaat Rasulullah saw., karena sholawat Nabi adalah amalan yang paling besar pahalanya, apalagi diiringi dengan puasa sunah. Semua itu adalah ajaran utama dalam agama Islam. Wallahu a’lam bis shawab.
Daftar Pustaka
Abdul Majid asy-Syarnubi al-Azhari, Syarh Dalailul Khairat wa Syawariqul Anwar fi Dzikr as-Shalat ‘alan Nabi al-Mukhtar, (Qohirah: Maktabah al-Adab, 1994).
Abdul Qadir Zaki, An-Nafkhah al-Aliyah fi Awradis Syadziliyah, (Kairo: Mathba’ah al-Nail, 1321 H.)
Abdul Wahab as-Sya’rani, Kasy al-Ghummah ‘an Jami’il Ummah, Vol. 1, (India: al-Mathba’ah al-Kastiliyyah, 1864).
Abdur Rahman Hj. Abdullah, Biografi Agung Syeikh Arsyad al-Banjari, (Selangor: Karya Bestari, 2016).
Ahmad Abdurrahman Bana, al-Fath ar-Rabbani lii Tartib Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal as-Syaibani, (Qahirah: Mathba’ah Ikhwan Muslimin, 1935)
Ahmad bin Muhammad Qasthalani, Irsyad as-Sari li Syarhi Shahih al-Bukhari, (Mesir: al-Maṭbaʻah al-Kubra al-Amiriyah, 1887).
Himasal Lirboyo, “KH. Muhammad Subadar: Empat Dunia KH. Marzuqi Dahlan dan KH. Mahrus Aly,” dalam www.lirboyo.net, 30 September 2019.
Melati Ismaila Rafi’i, Tradisi Puasa Dalail Khairat Di Pondok Pesantren Darul Falah 3 Jekulo Kudus Jawa Tengah, (Skripsi—UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2019).
Muhammad bin Abdussalam (w. 1346 H.) dalam kitab an-Ni’am al-Jalail fit Ta’rif Bis Syeikh Muallif Dalail, terbitan Dar al-Baidha’, Maroko, t.t.: 71.
Muslim Moderat, “Belajar Agama Secara Instan itu Kurang Barokah,” www.muslimmoderat.net, 25 Maret 2016.
Pemkot Aceh, Kota Banda Aceh Hampir 1000 Tahun, (Banda Aceh: Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II, 1988).
Pemrov Riau, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah dalam Perang Riau Melawan Belanda 1782-1784, (Pekanbaru: Pemprov Daerah Tingkat I, 1989).
Qusthalani, Kumpulan Bulan dalam Kalender Aceh dan Keunikannya, (Sukabumi: Jejak Publisher, 2018).
Shalah Muayyad, at-Thuruq as-Shufiyah wa al-Zawaya bil Jazair: Tarikhuha wa Nasysyatuha, (Irak: Dar al-Burraq, 2002).
Sri Mulyati, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah dengan Referensi Utama Suryalaya, (Jakarta: Prenada Media, 2010).
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Hushni, Kitab al-Qawa’id, Vol. 1, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1997).
Yusuf bin Ismail an-Nabhani, Jami’ Karomat al-Awliya’, (Gujarat: Markaz Ahli Sunnat Barakat Ridha, 2011).
Yusuf bin Ismail an-Nabhani,, Dalalat al-Wadihat ‘ala Dalailil Khairat, (Makkah: 2007).
![Baca WhatsApp Tribunnews](https://asset-1.tstatic.net/img/wa_channel.png)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.