Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pelajaran dan Politik Wasathiah (dari) KH. Imam Jazuli
Artinya, Kiyai Imjaz menulis untuk mengkritisi sesuatu yang dianggapnya tidak ideal, baik itu individu maupun lembaga.
Editor: Husein Sanusi
Pelajaran dan Politik Wasathiah (dari) KH. Imam Jazuli
Oleh: Imam Nawawi, Pendidik Pondok Pesantren Bahrul Kamal, Gondang, Plosoklaten, Kediri.
TRIBUNNEWS.COM - Mansouri dan Verganie (2018) mengatakan, "possesing more knowledge about Islam and having more contact with Muslims is associated with less prejudice againt Muslims".
Cakrawala pengetahuan dan pergaulan yang luas diyakini membuat pribadi seseorang lebih toleran. Pengetahuan yang lebih sempit dan jumlah perkawanan yang terbatas, menyediakan lingkungan bagi tumbuh suburnya sikap radikal yang cenderung memusuhi.
Pemikiran KH. Imam Jazuli (Imjaz), Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon, mencerminkan spirit toleransi yang tinggi. Term yang sering dipakai dalam beberapa essainya untuk menggambarkan Islam Toleran adalah Wasathiah Islam (Moderatisme Islam).
Akar-akar pemikiran Wasathiah Kiyai Imjaz ini tidak bisa dipisahkan dari cakrawala pengetahuannya yang luas sekaligus lingkungan pergaulannya yang membentang jauh.
Dalam tulisan KH. Didik L. Hariri, Pengasuh Pondok Pesantren Ekoliterasi Siradjul Ummah, Jogorogo Ngawi, berjudul "KH. Imam Jazuli; Sang Pendobrak Tradisi" (Tribunnews, 21/01/2020), digambarkan figur muda Kiyai Imjaz sebagai alumni pesantren tradisional yang berani mendirikan cabang partai politik nasional "sekuler" di Mesir sebagai pusat khazanan Islam dengan Universitas al-Azharnya.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menjadi tempat hati Kiyai Imjaz untuk berlabuh, terutama saat masih sebagai mahasiswa Al-Azhar, Kairo, Mesir. Bagi Kiyai Didik L. Hariri, pilihan politik Kiyai Imjaz adalah sebuah keberanian.
Tampaknya, sisa-sisa perhatian Kiyai Imjaz pada Partai Banteng ini masih semerbak. Hal itu terlihat dari tulisannya berjudul "Gus Mis dan Diplomasi Moderasi NU: dari Nusantara untuk Arab Saudi dan Dunia," (Tribunnews, 22/02/2021).
Kiyai Imjaz terlihat mendukung Gus Mis, panggilan akrab Zuhairi Misrawi, salah satu kader terbaik PDI-P, sebagai Duta Besar RI untuk Arab Saudi. Bahkan, Gus Mis dinobatkan sebagai pelanjut tongkat estafet alm. Gus Dur.
Selain tentang lompatan politis seorang alumni pesantren tradisional ke partai sekuler, sebagaimana catatan Kiyai Pengasuh PP. Siradjul Ummah, sosok Kiyai Imam Jazuli ini bisa dipahami dari tulisan Ketua LBM PWNU DKI Jakarta dan Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, Mukti Ali Qusyairi, yang berjudul "Kiai Iman Jazuli dan Akal Strategis,"
Akal strategis diartikan sebagai kemampuan Kiyai Imjaz untuk menerjemahkan gagasan ideal ke dalam kerja praktis. Manajemen pondok pesantren Bina Insan Mulia (BIMA) yang diasuhnya adalah wujud konkrit dari semua gagasan idealnya. Ini yang membedakan Kiyai Imjaz dengan para teoritikus yang sebatas mampu bicara teori di atas podium atau mimbar akademik.
Istilah "akal strategis" yang diperkenalkan oleh Kiyai Mukti Ali Qusyairi ini ada benarnya. Ketika Kiyai Imam Jazuli mengkritik kelompok maupun individu yang dinilainya sebagai bagian dari aliran "radikal", maka sikapnya pun juga "radikal".
Beberapa tulisan Kiyai Imjaz yang "tajam" antara lain berjudul "Cak Nun, Kurang Piknik Kurang Baca!" (20 Mei 2020), "Gus Baha': Mohon Sampaikan Kebenaran dengan Santun dan Ramah!" (5 Februari 2020), "Menata Nalar Hukum, Mengkritisi Tudingan Gus Najih," (3 November 2020), "Manhaj Dakwah UAS dan Kaum Sofis Athena" (13 Oktober 2019), "Kritik untuk Ustad Yahya al-Bahjah dan Tafsir Intelektual Lirik Lagu Aisyah Istri Rasulullah," (7 April 2020) dan banyak lagi tulisan kritis lainnya.
Semua ide pokok tulisan dalam judul-judul tersebut cukup kritis di satu sisi, dan keras dalam menyerang "lawan" di sisi lain. Sekilas pandang sulit dikategorikan sebagai wujud penerjemahan atas sikap "Wasathiah Islam" yang didengungkannya sendiri. Sebab, Mansouri dan Verganie mensyaratkan bahwa pengetahuan luas diasosiasikan dengan berkurangnya purbasangka.
Namun, berkat analisa dari Kiyai Mukti Ali Qusyairi tentang "akal strategis", beberapa tulisan kritis-keras dari Kiyai Imam Jazuli dapat dimengerti, bahwa ranah ideal memang berbeda dari ranah ideal. Karena itulah, kritik keras setiap tulisan Kiyai Imjaz tidak dapat serta merta dipahami sebagai purbasangka (prejudice) terhadap setiap individu muslim yang diserangnya, melainkan kepada gagasan abstrak dan perilaku nyata yang kebetulan manifes pada setiap individu tersebut.
Karakteristik yang kritis-keras semacam ini, puncaknya, tidak saja menimpa individu melainkan juga menyasar institusi pemerintah. Belakangan, Kiyai Imjaz mengkritik tanpa "ampun" dua lembaga besar, Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Artikel yang kritis tersebut antara lain berjudul "Ironi Nadiem Makarim, CEO Ojol Memimpin Pendidikan, Semakin Amburadul," (15 Juni 2020), "Jilbab dalam Narasi Otoriter Nadiem Makarim," (31 Januari 2021), "Kemenag Hambat Studi ke Al-Azhar, PUSIBA Hadir Beri Solusi," (1 Februari 2021).
Artinya, Kiyai Imjaz menulis untuk mengkritisi sesuatu yang dianggapnya tidak ideal, baik itu individu maupun lembaga, tanpa peduli seberapa kuat massa pendukung bagi pihak yang dikritisinya. Hal semacam ini tidak menyalahi konsep Washatiah Islam yang diusung sedari awal, jika cara membaca dan memahami sosok dan pemikiran Kiyai Imjaz dari cara pandang Kiyai Ali Mukti Qusyairi tentang "akal strategis". Sebuah sabda suci menyebutkan: "sampaikan kebenaran walaupun itu pahit".