Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kampungku Kampung Covid?
Selama ini keluarga saya berupaya pakai masker, sering cuci tangan, dan hindari kerumunan. Di kampung, semua ini gak berlaku.
Editor: Dewi Agustina
Berencana balik lagi ke kampung, tapi sendiri. Relatif bisa jaga diri jika sendirian.
Apa pesan dari cerita ini? Pertama, bahwa covid tidak hanya ada di kota, tapi juga ada di desa. Boleh jadi di desa lebih banyak jumlah warga yang terpapar.
Kedua, tes antigen, PCR atau apapun itu, di desa jumlahnya lebih sedikit dari tes di kota. Apalagi kalau dibandingkan dengan di kota besar seperti Jakarta.
Kalau di desa-desa masif dilakukan tes, hampir pasti angka terinfeksi covid perhari akan naik tinggi sekali.
Ini artinya, angka terpapar covid yang diumumkan boleh jadi jauh lebih kecil dari jumlah yang sesungguhnya terinfeksi.
Ketiga, warga kota lebih dekat dengan pusat pemerintahan dan banyak orang kelas pendidikan tinggi. Dengan begitu, lebih mudah dapat informasi dan penanganan bisa lebih cepat.
Sementara di desa, mereka merasa aman-aman saja. Gak ada ketakutan. Cerita kena covid itu hal biasa dan sambil ketawa-ketawa.
Meskipun diumumkan di mushalla dan masjid, hampir setiap hari ada yang meninggal.
Keempat, pengawasan covid di desa-desa sangat rendah. Ini rentan terjadi penyebaran dan risiko kematian.
"Covid jebule koyok ngono. Wis tahu mgerasakke". (Covid ternyata seperti itu. Setidaknya sudah pernah merasakan), kata teman bermain waktu kecil saya. Bangga!