Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menepuk 'BEM' di Dulang, Terpercik 'Rektor' Sendiri
"Air" itu Badan Eksekuif Mahasiswa (BEM) dan "muka" itu Rektor Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro.
Editor: Hasanudin Aco
Lihat saja senyum "The Smiling General" Soeharto. Seperti Pak Harto, Jokowi pun tipikal pemimpin Jawa yang tidak ingin terlihat berkonfrontasi di depan.
Namun, yakinkah kita jika kritikan itu disampaikan dengan diksi yang santun maka akan mendapat perhatian luas dari publik, apalagi Presiden?
Di sinilah BEM UI melakukan kreativitas dengan mengemas kritikannya itu dalam bentuk meme bernada satir.
Mereka barangkali berprinsip: "bad news is good news".
Di sisi lain, mahasiswa itu pemuda. Pemikiran pemuda sering kali revolusioner, tidak linier.
Itulah sebabnya mengapa dulu para pemuda menculik Bung Karno untuk memproklamasikan Kemerdekaan RI, tidak percaya janji Jepang. Kalau pemuda berpikir linier, mungkin sampai sekarang Indonesia belum merdeka.
Bahwa ada politisi atau pihak lain yang memanfaatkan BEM UI untuk kepentingan politik mereka, tuduhan itu sah-sah saja.
Tapi BEM UI juga sah-sah saja melancarkan kritik bernuansa politik.
Yang penting BEM sebagai lembaga intra-kampus tidak main politik praktis. Bukankah pemerintah juga main politik?
Di pihak lain, BEM UI pun tak perlu reaktif kalau dituduh berpolitik. Sebab faktanya meme satire itu bernuansa politik, karena yang menjadi sasaran adalah tokoh politik.
Blessing in disguise. Tanpa disengaja, unggahan meme satire itu membuka kotak Pandora rangkap jabatan Ari Kuncoro. Mungkin bukan Ari Kuncoro saja yang melakukan rangkap jabatan.
Itulah mengapa sopan-santun dalam konteks meme satire BEM UI itu disebut nisbi.
Tugas mahasiswa memang mengkritik. Kalau tidak mengkritik, bukan mahasiswa namanya. Perkara yang dikritik itu mau menerima atau tidak, mau berubah atau tidak, itu soal lain.
Yang penting, tugas itu telah tertunaikan oleh mahasiswa yang merupakan "agent of change". Konsekuensinya, termasuk konsekuensi hukum, tentu sudah mereka perhitungkan.
Yang tak kalah penting, tugas pemimpin bukan hanya menjadi pemadam kebakaran. Apalagi sampai kebakaran jenggot. Pemimpin harus berpegang pada hukum dan konstitusi.
* Karyudi Sutajah Putra, Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.