Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Dramaturgi Keselamatan Jurnalis Pada Saat Pandemi Covid-19
Keberadaan jurnalis menjadi penjaga kejernihan informasi dari ketidakjelasan informasi semakin membuat masyarakat “gagal” mempersiapkan diri
Editor: Toni Bramantoro
OLEH: Edi Junaidi DS
Di tengah pandemi Covid-19, jurnalis memiliki tugas yang menantang untuk mengumpulkan dan mendistribusikan informasi yang akurat. Wartawan sebagai bagian dari ekologi di mana pekerjaannya mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan yang melingkupinya.
Keberadaan jurnalis menjadi penjaga kejernihan informasi dari ketidakjelasan informasi semakin membuat masyarakat “gagal” mempersiapkan diri menghadapi pandemi.
Masyarakat kemudian cenderung mengakses beragam informasi melalui media sosial. Sayangnya, tidak semua berita di media sosial menyajikan informasi yang akurat dan bisa dipertanggungjawabkan.
Pada masa pandem,i wartawan sama pentingnya posisinya dengan para ilmuwan yang kemudian merilis hasil penelitian tersebut sebagai press release dan mendiseminasikannya ke berbagai media massa, hingga menjadi narasumber dalam berbagai media.
Upaya-upaya ini terbukti berhasil mengarahkan diskursus publik pada Covid-19 sehingga muncul desakan publik yang begitu kuat kepada pemerintah untuk merespons krisis ini secara cepat.
Mengulang fenomena bahwa virus corona muncul dengan dibayang-bayangi akan bahaya yang telah mengancam di kemudian hari, ketakutan yang disebar melalui media sosial hingga instant messaging dengan bantuan interaksi secara elektronik yang telah menjadi kebiasaan masyarakat pada umumnya dan di tengah jumlah pengguna aktif media sosial yang sangat tinggi, yaitu 3,6 miliar orang.
Berdasarkan data dari staticca.com, pengguna media sosial aktif Facebook pada 2020 mencapai 2,4 miliar, Youtube 2 miliar, WhatsApp 1,6 miliar, Instagram 1 miliar, dan Twitter 340 juta.
Tingkat kemajuan pendidikan sendiri belum tentu diikuti oleh kualitas literasi informasi, literasi media, hingga literasi digital. Maka, terjadi perdebatan antara logika sains vs pseudo sains yang berujung pada debat pandemic vs plandemic di sinilah sebenarnya jurnalis menjadi penghubung untuk menjelaskan ke publik.
Dampaknya mengkhawatirkan karena merebaknya teori-teori konspirasi menimbulkan penolakan terhadap berbagai protokol Covid-19 yang dianggap sebagai bagian dari skenario pemusnah massal agenda titipan rezim-rezim tertentu.
Ini belum lagi berhadapan dengan para penganut agama yang menyikapi Covid-19 dengan tafsiran yang berbeda-beda: mulai dari Covid-19 sebagai hukuman Tuhan, hingga Corona sebagai skenario ciptaan agen-agen musuh agama.
Jurnalis juga harus berperang konten dengan keberadaan fitur sharing atau berbagi di media sosial seperti mentions, shares, repost,dan, review. Namun, sebagaimana terjadi di negara-negara lain, ekses rekayasa yang mirip manipulasi yang mengotori pertukaran informasi yang genuine atau otentik, yakni penyewaan buzzer yang bisa membelokkan opini publik tentu menjadi beban lain yang cukup pelik bagi jurnalis di lapangan memilah mana data dan mana persepsi tertang Covid-19 yang terlajur menjadi buah bibir publik.
Ketidakterbukaan pemerintah atas data persebaran ikut menyebabkan kepanikan dan kesimpangsiuran informasi di tengah masyarakat.
Ini berimplikasi pada munculnya banyak informasi hoaks. Sejak 23 Januari hingga 6 April 2020, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah mengidentifikasi 1.096 isu hoaks Covid-19 yang tersebar melalui platform digital.