Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Dramaturgi Keselamatan Jurnalis Pada Saat Pandemi Covid-19
Keberadaan jurnalis menjadi penjaga kejernihan informasi dari ketidakjelasan informasi semakin membuat masyarakat “gagal” mempersiapkan diri
Editor: Toni Bramantoro
Meski posisi ini naik, namun masih menempatkan kebebasan pers Indonesia dalam kondisi buruk (warna merah). Indikator- indikator ancaman kebebasan pers tersebut karena pemerintah memanfaatkan krisis Covid-19 untuk memperkuat represifnya terhadap jurnalis.
Tidak hanya dengan alasan membatasi informasi palsu terkait Covid-19, tapi juga larangan menerbitkan informasi yang menghina presiden atau pemerintah, meski tidak terkait dengan pandemi. Dalam setahun ini mencapai 90 kasus, jauh dibandingkan dengan periode sebelumnya sejumlah 57 kasus.
Catatan lain AJI dari penggunaan digital untuk meneror jurnalis makin masif pada 2020, di saat ketergantungan jurnalis pada internet cukup besar selama pandemi. Sayangnya kerja-kerja jurnalis di ruang digital belum mendapatkan perlindungan memadai.
Data AJI menunjukkan dalam rentang Mei 2020-akhir April 2021, telah terjadi 14 kasus teror berupa serangan digital. Jumlah itu meliputi 10 jurnalis yang menjadi korban dan empat situs media online.
Sedangkan apabila dilihat dari jenis serangannya yakni 8 kasus doxing, empat kasus peretasan, dan dua kasus serangan distributed denial-of-service.
Apakah cukup sampai di sana, temuan AJI Jakarta pada tahun 2020, terdapat 25 jurnalis yang pernah mengalami kekerasan seksual. Bahkan berdasarkan data tersebut, tak sedikit dari korban yang mengalami kekerasan berulang atau lebih dari satu kali.
Korban didominasi oleh jurnalis perempuan. Pelakunya berasal dari lapisan sosial yang beragam bahkan korban juga mengalaminya dari atasan atau lingkungan di mana jurnalis bekerja.
Berdasarkan rekapitulasi AJI dari pemberitaan media sejak Maret hingga 27 Juli 2020, jumlah pekerja media yang positif dan suspect Covid-19 mencapai 74 orang dan 4 di antaranya meninggal dunia. Hampir tak terelakkan lagi, jumlah wartawan terkena Covid-19 pasti bertambah.
Saat ini varian baru Covid-19 Delta dari India sudah mulai bermutasi. Di tengah kelesuan perusahaan media yang mulai gulung tikar dan mempertipis terbitan halaman korannya, serta jurnalis yang bekerja dengan kepastian gaji berpotensi dipangkas.
Pengabaian nasib jurnalis juga ditambah rumit dengan publik yang masih tertelah isu hoax sehingga kepastiaan pemberitaan fakta dianggap sudah menurun dari hasil kerja jurnalis.
Pangkalnya, jurnalisme memiliki peran yang demikian signifikan untuk mengalirkan arus informasi yang terverifikasi sehingga bisa membantu publik untuk melalui masa-masa krisis dengan informasi yang memadai. Karena itu, penting untuk melihat bagaimana peran yang dilakukan oleh media-media di masa krisis.
Sebabnya, liputan-liputan jurnalistik selalu menjadi pedang bermata dua. Jika media menampilkan informasi dengan akurat dan terverifikasi, ia menjadi modal berharga bagi publik.
Selama Covid-19 jurnalis secara diskursif menempatkan diri mereka pada posisi yang bertanggung jawab namun rentan dalam ekologi komunikasi bukan semata-mata akibat pandemi tetapi juga dari kondisi lingkungan yang lama mendahuluinya.
Wartawan merasa pelaporan mereka sulit selama pandemi dan berusaha untuk mengurangi kekuatan yang menantang pekerjaan mereka ketika mereka berusaha untuk membalikkan aliran informasi yang salah menjadi benar.
Lebih jauh jurnalis harus tetap bekerja untuk tetap selamat baik jiwanya dari virus serta posisi karirnya untuk melanjutkan nasib yang terabai dan rentan dari istilah mapan.
* Edi Junaidi DS, Jurnalis TIMES Indonesia