Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Berkat di Balik Kritikan Duo Elite Demokrat dan PPKM Darurat
SEJAK BEM UI mengunggah serangkaian tweet yang populer disebut "The King Of Lip Service", masalah kritikan terhadap Jokowi terus bergulir.
Editor: Sri Juliati
Bagaimana sikap kita terhadap peperangan di dunia maya—yang kalau dibiarkan—bisa menjadi adu fisik sampai perang saudara beneran? Kita perlu menarik diri dari hiruk pikuk pro kontra ini agar bisa melakukan me time. Di saat teduh pribadi inilah air kolam di bejana jiwa kita menjadi tenang sehingga permukaannya bisa kita jadikan cermin.
Saat menyaksikan tayangan YouTube 'Jeda Nulis' dari Habib Husein Ja'far Al Hadar bersama Pendeta Yerry Pattinasarany, saya merasakan kesejukan air kolam yang teduh. Dalam salah satu episodenya yang berjudul 'Kenapa & Bagaimana Kita Bersama Meski Tak Sama?" saya merasakan dua tokoh agama ini benar-benar menjiwai dialog persaudaraan yang kental. Mereka menyebutnya "Inilah Cerita Kebersamaan Kita".
Menurut pengakuan keduanya yang dikemas seperti podcast, mereka bisa mengobrolkan hal serius—seperti konflik Palestina-Israel—dengan keterbukaan dan keteduhan. Tawa renyah dan meriah membuat tayangan mereka enak dinikmati dan perlu.
Kebersamaan mereka bukan hanya untuk tayangan YouTube, melainkan mereka praktikkan dalam keseharian. Menurut Habib Jafar dan Pendeta Yerry, mereka saling berkunjung, bahkan saling memberi saat upacara keagamaan masing-masing baik Idul Adha maupun Natal. Saat Natal, Habib Jafar memberi hadiah kepada Pendeta Yerry. Sebaliknya, saat Idul Adha yang sebentar lagi dirayakan, Pendeta Yerry menyumbang hewan korban. Berbagi hadiah itu memang indah, apalagi berbagi berkah.
Blessing in Disguise
Apa berkat tersembunyi dari kegaduhan dan kritikan terhadap pemerintah, khususnya di saat PPKM darurat? Saya percaya, Jokowi maupun Ma'ruf Amin bukah hanya mengikuti semua kritikan yang ditujukan kepada mereka, tetapi juga merenungkannya. Setiap kita pasti merasakan sakit—entah seperti tikaman pedang atau gigitan semut—saat mendapatkan kritikan terbuka semacam ini.
Jika kita impulsif dan emosional, kita bakal meradang, mencabut pedang dan menabung genderang perang. Child self kita muncul diiringi defender yang reaktif. Sebaliknya, jika kita bisa menahan diri, seperti Jokowi dan Ma’ruf Amin, bisa menanggapinya dengan senyuman arif.
Berbagai kritikan ini bisa kita analogikan sebagai rasa tidak nyaman di tubuh kita yang membuat kita perlu kontrol ke dokter atau bahkan melakukan general check up. Bisa jadi, meskipun tingkat kepuasan rakyat terhadap kinerja Jokowi tinggi, tetap saja ada yang merasa tidak merasakan hal itu.
PPKM darurat yang dianggap ampuh mencegah penularan varian Delta lebih jauh dan lebih luas di sisi lain juga mematikan usaha rakyat kecil. Di sinilah Jokowi diharapkan mampu mengendarai mobil bernama Indonesia ini sehingga tahu kapan menginjak rem dan kapan menginjak gas agar Indonesia tidak menjadi failed nation.
Evaluasi diri dan kinerja tidak harus menunggu sampai 'tutup buku', melainkan bisa dilakukan sewaktu-waktu. Bisa jadi pemerintah kurang mengkomunikasikan kebijakannya dengan baik sehingga rawan disalahartikan atau bisa jadi memang tidak dipahami sekelompok orang. Seberapa besar atau seberapa kecil rasa sakit itu, kalau demam, kita memang perlu rehat sejenak untuk melihat ke dalam.
Sebagai saudara sebangsa, alangkah eloknya jika persahabatan Habib Jafar dan Pendeta Yerry kita jadikan teladan dalam mensikapi perbedaan. Bukankah bangsa kita dikenal dunia sebagai bangsa yang ramah satu terhadap yang lain? Masa dengan saudara sendiri kita sering ribut? Mari kita sudahi ‘perang’ ini. Sudah saatnya kita move on dan fokus pada musuh bersama bernama korona yang semakin menggila! (*)
Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.