Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kisah Inspiratif KH.Deni Rustandi, Merintis Darussalam Tasikmalaya & Pertahankan Kesederhanaan
Darussalam Tasikmalaya berdiri pada tahun 2007. Sebagai pimpinan pondok, Kiai Deni tidak diperkenankan membangun rumah.
Editor: Husein Sanusi
Lalu, Apa yang membuat Kiai Muda satu ini begitu lekat dengan nilai Gontory dan mampu mempraktekkannya? Mari kita telisik latar belakang Kiai Deni selama digembleng di titik pusat poros Kampung Damai yang terletak ratusan kilometer dari Tasikmalaya tepatnya di Ponorogo.
Selepas mengenyam Pendidikan KMI di Gontor, Kiai Deni mendapat keistimewaan berupa amanah dari Kiai Gontor yakni mengabdi sebagai guru di Gontor dengan pos pengabdian yang juga istimewa sebagai staff Pengasuhan Santri.
Mengemban amanah sebagai guru di staff Bagian Pengasuhan Pondok Modern Gontor tidaklah mudah. Bagian ini yang menjadi penggerak seluruh kegiatan santri selama 24 jam. Bagi santri Gontor, panggilan dari bagian Pengasuhan Santri adalah panggilan yang paling ditakuti. Sanksi disiplin sudah siap menanti.
Bagian Pengasuhan Santri adalah bagian perpanjangan tangan yang langsung disupervisi oleh Pimpinan Gontor. Bagian ini mengurus roda gerak kehidupan santri termasuk manajerial kegiatan di luar kelas hingga manajerial kehidupan guru-guru di Gontor. Tugas ini dijalani Kiai Deni dalam kurun waktu 4-5 tahun hingga dirinya menyelesaikan jenjang pendidikan perguruan tinggi S1 Gontor di ISID (sekarang UNIDA)
Pengalaman Kiai Deni yang tak sebentar di staff Pengasuhan Santri membuatnya tertempa semakin matang. Ketika sekarang dirinya memimpin pondok terpancar ketegasan dan kharisma darinya yang tersembunyi dibalik kelembutan kata dan keramahannya.
Hal termahal dari penugasan di Pengasuhan Santri adalah soal kedetakatan Kiai Deni dengan para Kiai Pimpinan Pondok Gontor. Guru Pengasuhan Santri sebagaimana diketahui setiap saat menerima instruksi atau melaporkan berbagai kegiatan kepada KH Abdullah Syukri Zarkasyi (alm), KH Hasan Abdullah Sahal maupun KH Syamsul Hadi Abdan (alm). Kedekatan struktural ini juga diiringi kedekatan personal dengan keluarga, terutama selepas dari purna tugasnya di Gontor.
Maka sangat wajar bila kini Kiai Gontor terlihat sering sekali menyambangi Pesantren Darussalaman Tasikmalaya ini. Saya merasakan kalau pondok ini punya tempat yang istimewa di hati para Kiai Pimpinan Gontor. Lalu apa yang membuatnya istimewa? Saya coba menebak-nebak, karena tidak berani menanyakan langsung.
Pertama, selalu menjaga silaturahim. Silaturahim tanpa pamrih. Silaturahim yang dibangun atas dasar rasa hormat dan takzim seorang santri kepada guru dan Kiainya. Silaturahim ini terus dijaga, terlebih ketika Kiai Deni mulai merintis pondok dengan menjadikan kandang ayam di tanah milik orangtuanya sebagai asrama dan kelas untuk belajar.
Kedua, selalu meminta arahan dan nasehat kepada para guru dan Kiai. Sejak awal mulai punya niat mendirikan pondok, Kiai Deni selalu meminta bimbingan dan arahan. Tidak jarang bolak balik Tasikmalaya - Gontor dalam waktu yang sering, hanya untuk meminta nasehat terhadap suatu hal yang akan dilakukan. Semua nasehat dan arahan tersebut dipegang teguh dan dijalankan tanpa ragu. Sami’na Wa Ato’na.
Ketiga, selalu melaporkan segala perkembangan pondok, termasuk juga laporan kondisi keuangan. Walaupun bukan pondok cabang, tapi Kiai Deni rutin menghadap pimpinan pondok di Gontor untuk melaporkan perkembangan pondok. Hal ini dimaksudkan agar mendapatkan arahan, bimbingan dan koreksi terhadap jalannya pondok.
Keempat, Kiai Deni mempunyai seorang istri yang sangat ramah dan hangat menyapa setiap tamu yang datang, termasuk kepada keluarga gontor. Semua mengakui dan merasakan hal tersebut. Bahkan Bu Nyai Syukri Zarkasyi menuturkan “sampai saat ini kami belum bisa menemukan orang seperti anak ku, Nunung. Ia lembut, keibuan, santun, cantik, pintar, hafidzoh. Ia menanti idaman, sosok ibu nyai yang sempurna. Apa daya Allah lebih mencintaimu”.
Ya, beberapa bulan lalu, Kiai Deni mendapat ujian dari Allah SWT kehilangan istri tercintanya sekaligus pendamping dalam perjuangan di pondok. Ujian ini tentunya dimaknai sebagai hamba Allah yang akan selalu diuji untuk dinaikkan derajatnya. Keyakinan saya menyatakan, Allah memberikan ujian kepada Kiai Deni karena yang diuji dinilai mampu menghadapinya.
Begitulah perjalanan hidup Kiai Deni yang tentunya masih akan panjang ke depan. Kisah hidup yang hanya dilihat dan tampak dari sisi dhohirnya saja.
Namun Secara bathin yang tidak tampak, saya meyakini Kiai Muda se-kaliber Kiai Deni juga sedang menjalani tirakat riyadhoh bathiniyah, mujahadah, dalam rangka memohon dan mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagaimana yang telah dicontohkan para Masayikh Kiai Gontor.
Riyadhoh bathiniyah para Kiai ini tak tampak oleh indera penglihatan namun kita rasakan manfaatnya berupa berbagai kemudahan sebagai santri sekaligus anak ideologis Pondok Modern Gontor yang berkahnya melimpah ruah hingga menembus batas ruang dan waktu.