Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kesadaran Pemuda akan Persaudaraan Lintas Agama Sudah Tumbuh Sebelum Indonesia Merdeka
kesadaran pemuda Indonesia akan persaudaraan lintas agama, lintas etnis, dan lintas budaya sudah tumbuh sejak dulu sebelum Indonesia merdeka.
Editor: Theresia Felisiani
“Saya pikir kesempatan seperti ini adalah kesempatan yang baik untuk kita menyampaikan atau secara terbuka membenah diri dan berbicara secara jujur permasalahan-permasalahan yang kita hadapi dalam dialog nasional dalam kehidupan kita bersama,” ucapnya.
Dalam kesempatan ini, Romo Markus juga ingin menyampaikan apa yang ia amati selama ia tinggal di luar negeri. Ini, menurut dia, merupakan pekerjaan rumah yang betul-betul banyak. Yakni adanya pembentukan politik identitas berbasis agama semakin masif, indoktrinasi paham-paham radikal dan sektarian, narasi-narasi kebencian atas nama agama yang tersebar dimana-mana, pembangunan getho-getho yang Paus Fransiskus katakan sebagai tembok.
Selanjutnya kasus-kasus intoleransi agama yang mencemaskan, kekerasan dan radikalisme agama yang sampai membawa kepada terorisme, kekerasan atas nama agama, gerakan-gerakan oposisi politik pemerintahan yang resmi dengan mengusung alternatif berbasis satu agama, yang tidak mungkin menjamin kesatuan dan persatuan bangsa, gerakan-gerakan pengasingan budaya-budaya lokal dan masih banyak lagi.
“Yang kita butuhkan adalah sebuah konvivialitas, sebuah kehidupan bersama. Tetapi konvivialitas memiliki sebuah karakter yang lebih. Kata konvivialitas dari bahasa latin convivere atau hidup dengan atau hidup bersama bersama berarti membangun hubungan persaudaraan, persahabatan, rasa saling hormat dan saling percaya dengan semua orang dalam masyarakat, dan bersedia berbagi dengan mereka semua sumber daya yang tersedia, alam, kandungan, kandungan alam, manusia, kebahagiaan material dan spiritual,” beber Romo Markus.
Apa landasannya? Romo Markus melanjutkan, “Karena kita adalah bagian dari satu sama lain, kita bergantung dari satu yang lain. Kita adalah saudara dan saudari walau berbeda dalam agama, budaya, etnik cara pandang orientasi politik, kita satu dalam kemanusiaan.”
Berikutnya, kata Romo Markus, conviviality artinya hidup rukun dengan alam dan sesama manusia tanpa harus meremehkan perbedaan dan keragaman suku, agama, sosial dan budaya. Di dalam perbedaan ini kita semua bekerja sama untuk kebaikan bersama yang menguntungkan semua pihak tanpa kecuali.
“Untuk kita umat Katolik dokumen Konsili Vatikan ke-2 Nostra Aetate sebagai dasar kebijakan kita, dasar dinamika keterbukaan kita terhadap umat beragama lain sudah menekankan ini dengan jelas,” tuturnya.
Lebih lanjut dijelaskan satu-satunya Romo asal Indonesia di Kepausan Vatikan ini, menurut Paus Franciskus, konvivialitas yang dimaksudkan dengan hidup secara bersama secara rukun dan damai adalah barometer yang pasti untuk mengukur sehatnya relasi antarsesama manusia, sehatnya sebuah bangsa, sehatnya relasi perorangan, relasi antarkelompok, maupun antarbangsa di satu sisi dan antara manusia dengan alam semesta dan juga dengan Tuhan Sang Pencipta di sisi lain.
Sebuah masyarakat yang diwarnai oleh anonimitas, lanjut Romo Markus, yang diwarnai oleh ketidakpedulian ignorance karena tidak ada atau melemahnya relasi pribadi dan sosial satu sama lain, yang ada hanya sebuah masyarakat complicated dengan egoisme sebagai karakternya. Maka tidak heran kalau bangsa tersebut atau masyarakat tersebut tidak pernah menikmati apa yang kita sebut kerukunan dan perdamaian.
Masalah seputar konvivialitas
Lebih jauh Romo Markus menguraikan bahwa masalah-masalah seputar konvivialitas yang saling berkaitan di atas tidak hanya memengaruhi keramahtamahan sebuah masyarakat, kelemahlembutan sebuah masyarakat dan pemeluk tradisi-tradisi berbagai agama dan anggota dari kelompok budaya dan etnik, juga sekaligus memperlambat laju dialog antaragama atau malah membuatnya stagnan.
Dalam situasi seperti itu, masih kata Romo Markus, mungkin sebagian orang menyerah dan mencari jalan sendiri untuk luput seperti yang kita lihat pada gerakan-gerakan sektarian. Fratelli Tutti ingin menekankan tanggung jawab kolektif kita bersama, manusia di berbagai belahan dunia dan juga termasuk Indonesia dari berbagai generasi. “Dan juga dimaksudkan di sini saudara dan saudari adik-adik PMKRI. Membangun persaudaraan kolektif dan universal adalah jalan,” ucapnya.
Romo Markus pun mengingatkan akan dokumen yang terbit sebelumnya persaudaraan manusia untuk perdamaian dunia dan hidup bersama, yang terbit di Abu Dhabi pada tanggal 4 Februari 2019 juga turut menekankan atau membuka jalan, memberikan cara yang baik untuk membangun persaudaraan yakni dengan dialog, membuka diri untuk berbicara, dan bertemu dengan orang lain, saling memahami saling menghormati, menyebarkan budaya toleransi, menerima orang lain apa adanya dengan segala perbedaannya.
Tiga poin Paus
Berikutnya Romo Markus menyinggung intisari pesan Paus Franciskus pada hari perdamaian sedunia karena di sana Paus menekankan tiga poin yang relevan untuk kehidupan bangsa Indonesia, dan semua yang ingin membangun persaudaraan, perdamaian dan kerukunan hidup bersama.