Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Permenaker 2/2022: Manfaat atau Mudarat Bagi Buruh?
Menurut kaum buruh, ketentuan ini sangat mencederai pekerja apalagi di saat kondisi sulit di tengah pandemi Covid-19,
Editor: Hasanudin Aco
Namun entah apa yang melatarbelakangi pemerintah sehingga pada akhirnya mengeluarkan Permenaker 2/2022, mengantikan peraturan yang lebih bermanfaat bagi pekerja.
Semestinya ketentuan yang lebih baik dan lebih bermanfaat tidak diganti dengan ketentuan yang menyulitkan atau cenderung merugikan.
Dengan kata lain, Permenaker 2/2022 tersebut lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi buruh.
Bisa saja peraturan tersebut dibuat dengan dalih Permenaker 2/2022 tidak bertentangan dengan PP 60/2015 karena di dalam PP tersebut tidak menetapkan secara jelas mengenai usia kapan JHT dapat diterima pekerja.
Bahkan ditegaskan oleh “ibu kandung”-nya, yaitu Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bahwa manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap; di mana mengenai usia pensiun telah ditegaskan pada Pasal 15 ayat (1) PP 45/2015 tentang Jaminan Pensiun bahwa untuk pertama kali Usia Pensiun ditetapkan 56 (lima puluh enam) tahun.
Memang, dilihat dari runutan di atas seolah-olah tidak ada pertentangan Permenaker 2/2022 dengan peraturan di atasnya jika dipandang dari sisi kepastian hukum.
Padahal jika kita mencermati lebih teliti bahwa didalam penjelasan pasal 26 ayat (1) PP No.60 Tahun 2015 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan "mencapai usia pensiun" termasuj Peserta yang berhenti bekerja.
Namun perlu dipahami bahwa iuran JHT sebesar 5,7% dari upah pekerja adalah dibayarkan langsung oleh pekerja sebesar 2% dan dari pengusaha sebesar 3,7% dimana sejatinya iuran ini merupakan tabungan pekerja, yang semestinya dapat diambil kembali oleh pekerja jika sudah tidak terikat lagi dengan perusahaan/pengusaha, terkait adanya JHT karena adanya perikatan antara pekerja dan pengusaha.
Dengan demikian, sudah semestinya pemerintah membuat suatu aturan berdasarkan keadilan dan kemanfaatan yang benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat, bukan sekadar kepastian hukum belaka.
* Dr Anwar Budiman SH MH: Advokat/Legal Consultant & Praktisi Ketenagakerjaan/Pakar Hukum Ketenagakerjaan/Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.