Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Homestay Luar Negeri Dan Pendidikan Optimisme Pesantren
kegiatan apa yang dapat membesarkan hati para santri agar motivasinya untuk sukses di dunia dan akhirat menguat?
Editor: Husein Sanusi
Yang menjadi masalah adalah kita menginginkan keberhasilan tetapi kita malas-malasan, punya sikap yang tidak mendukung keberhasilan itu, berpikir negatif, harapannya pesimis, dan lebih sering tidak melakukan hal-hal yang kita butuhkan untuk berhasil. Ibarat mesin, jika yang aktif hanya satu sistem, sementara sistem yang lain mati atau bekerja untuk hal-hal yang tidak kita inginkan, maka operasi sistem itu kurang optimal, bahkan bisa rusak,
Jadi, dengan menjadi orang yang optimis, memang tidak secara otomatis langsung membuat kita mendapatkan impian yang kita inginkan, tetapi untuk mendapatkan impian itu dibutuhkan batin yang optimis.
Bukan Sekadar Memproduksi Orang Baik
Mbah Kiai Sahal Mahfudz pernah berpesan bahwa untuk menjadi orang yang baik itu gampang. Yang sulit adalah menjadi orang yang bermanfaat. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa salah satu kriteria dari sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain (anfa’uhum linnas) dan akhlaknya baik (wa ahsanuhum khuluqo).
Menjadi orang yang baik cukup dilakukan oleh santri dengan menjalankan ibadah ritual sesuai standar dan menjauhi praktik menyakiti manusia. Itu sudah cukup. Tapi pendidikan pesantren dari sejak awal memang didesain agar para santri nanti menjadi orang yang bermanfaat dengan ilmunya, keahliannya, tekah baiknya dan kiprahnya di masyarakat.
Untuk menjadi orang yang bermanfaat itulah butuh optimisme sebab pasti menuntut perjuangan yang panjang. Tanpa optimisme, maka kegagalan, kesengsaran, dan ketidakjelasan kenyataan dapat membubarkan tujuan seseorang.
Optimisme adalah ciri orang kuat. Nabi Muhammad SAW telah memberikan gambaran kepada kita bahwa orang mukmin itu ada dua. Ada mukmin yang lemah dan mukmin yang kuat. Mukmin yang lemah inilah yang pas untuk disebut sebagai orang yang baik-baik saja.
Sebagaimana dijelaskan Rasulullah SAW, menjadi mukmin yang lemah memang tidak salah. Cuma, kalau kita lihat dampaknya secara perjuangan agama dan perkembangan jiwa, itu berbahaya.
Bayangkan kalau umat Islam di negeri ini hanya diarahkan untuk menjalankan ibadah ritual dan menghindari kejahatan, lantas siapa yang mengurus masyarakat? Siapa yang mengurus pemerintahan? Siapa yang mengurus pasar? Siapa yang mengurus pendidikan? Dan seterusnya dan seterusnya?
Artinya, bangsa ini bisa lumpuh. Bangsa ini bisa menjadi objek jajahan bangsa lain jika sebagian besar orang-orangnya hanya menjadi orang-orang yang baik-baik saja. Jenderal Soedirman mengingatkan, “Kejahatan akan menang bila orang yang benar tidak melakukan apa-apa.”
Di samping secara perjuangan memang membahayakan, secara psikologis juga kurang mendukung untuk bahagia. Berbagai riset internasional di bidang psikologi menemukan bukti bahwa jiwa seseorang akan lebih sering bahagia apabila seseorang itu melakukan hal-hal yang berarti bagi dirinya dan orang banyak.
Jadi, para santri Bina Insan Mulia saya harapkan mampu melangkah menjadi orang mukmin yang kuat. Sebagaimana yang dijelaskan Nabi SAW, mukmin yang kuat adalah mukmin yang optimis untuk merebut peluang (ihrish ala ma yanfauka).
Mukmin yang kuat adalah orang yang yakin bahwa dirinya punya kekuatan (wa la takjzaz). Kekuatan bisa dalam bentuk potensi bakat, moral akhlak, jaringan, harta kekayaan, dan seterusnya. Semua orang telah diberi kekuatan oleh Allah yang berbeda-beda.
Yang tidak dilakukan orang adalah bagaimana seseorang jeli melihat kekuatan itu dan bagaimana menggunakannya. Sebagai contoh, punya pesantren di kampung bisa dilihat sebagai kekuatan dan bisa dilihat sebagai kelemahan. Itu tergantung bagaimana posisi itu dilihat lalu strateginya apa.
Mukmin yang kuat adalah mukmin yang menghadapi realita dengan cara yang baik dan fokus pada menghadirkan aksi positif, tidak membangun ilusi yang dipenuhi seandainya. Seandainya saya dikasih kecerdasan seperti si anu, seandainya saya diberi orangtua kaya raya seperti si anu, seandainya masalah tidak ada, dan seterusnya. Rasulullah mengingatkan bahwa ungkapan “seandainya” bersumber dari setan yang menggoda.
*Penulis adalah Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia 1 dan Bina Insan Mulia 2 Cirebon. Pernah dipercaya sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. Penulis merupakan alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; juga alumnus Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; dan alumnus Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies.*
![Baca WhatsApp Tribunnews](https://asset-1.tstatic.net/img/wa_channel.png)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.