Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Membumikan Tradisi Tirakat Di Pesantren, dan Mengembalikan Tradisi Kewalian
Ada banyak kegiatan spiritual diajarkan di malam hari khususnya di hari Jum'at Seperti tahlil.
Editor: Husein Sanusi
Tradisi yang digagas Syeikh Nafis al-Banjari ini dilestarikan oleh penerusnya, Syeikh Muhammad Zaini Abdul Ghani al-Banjari, yang dikenal sebagai Guru Sekumpul. Ribuan jamaah Guru Sekumpul yang tersebar di seluruh nusantara bahkan dari luar negeri itu melestarikan pembacaan Maulid al-Habsyi, Sholawat Burdah, dan Dalailul Khairat.
Sebagaimana di Sumatera dan Kalimantan, para alim ulama di tanah Jawa juga masyhur mengamalkan Dalailul Khairat sejak zaman Wali Songo hingga hari ini. Antara lain: K.H. Ahmad Badawi Basyir di Pondok Pesantren Darul Falah, Jekulo, Kudus, Jawa Tengah. Beliau adalah salah satu tokoh penting sekaligus mujiz (pemberi ijazah) dalam sejarah pelestarian amalan Dalailul Khairat. Di Pondok Pesantren Darul Falah ini, wirid Dalailul Khairat diiringi dengan amalan Puasa Dalail.
Selain Jawa Tengah, Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri Jawa Timur, juga mengamalkan tradisi Dalailul Khairat. Kiai Marzuqi juga dikenal sebagai ulama yang mengamalkan sekaligus menjadi mujiz amalan Dalailul Khairat kepada para santri Lirboyo yang ribuan itu. Dan masih banyak lagi para ulama di tanah Jawa yang mengamalkan Tirakat Dalailul yang tidak bisa disebutkan satu persatu di sini.
Karomah dan Rambu-rambu Tirakat Dalail
Ada banyak pengertian mengenai karomah. Pada dasarnya, karomah adalah keistimewaan khusus atau keutamaan yang diberikan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih karena kedekatan (wilayah). Seseorang bisa membangun kedekatan khusus dengan Allah SWT dengan berbagai cara. Tapi kuncinya harus dengan iman, ilmu, dan amal.
Mengenai keutamaan Shaumud Dahr atau Tirakat Dalail telah diterangkan para ulama dalam banyak kitab. Tentu dasarnya dari al-Qur’an, Rasulullah, dan para Sahabat. Rasulullah bersabda, “Barang siapa melakukan Shaumud Dahr maka neraka Jahanam tidak akan muat menampungnya,” (HR. Ahmad, Nasai, Ibnu Hibban, dan at-Thabrani).
Imam Bukhari juga meriwayatkan hadits dari Aisyah ra., bahwa Hamzah bin ‘Amr al-Aslami bertanya kepada Rasulullah SAW,” Wahai Rasulullah, saya ini berpuasa sepanjang tahun. Apakah saya boleh berpuasa saat perjalanan?” Rasulullah SWA menjawab, “Berpuasalah jika kamu berkenan, berbukalah jika kamu berkenan,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Anas ra., ia berkata, “Abu Thalhah tidak pernah berpuasa sunnah pada masa Nabi SAW hidup, karena selalu mengikuti peperangan. Ketika Rasulullah SAW wafat, saya belum pernah melihatnya berbuka kecuali hari Idul Fitri atau Idul Adha,” (HR. Al-Bukhari).
Meski memiliki akar yang berujung pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabat, tapi untuk pengamal Tirakat Dalail diberi peringatan atau catatan. Para ulama menegaskan bahwa seseorang boleh melakukan Shaumud Dahr dengan tetap memastikan stamina tubuh yang fit.
Jangan sampai karena menjalankan Shaumud Dahr, seseorang mengabaikan kesehatan tubuh. Hal ini bertentangan dengan ajaran. Rasululullah SAW mengingatkan, “Jika engkau melakukan puasa semacam itu (puasa yang mengabaikan kesehatan dan kekuatan fisik) maka engkau menghancurkan bola matamu sendiri karena puasa, melemahkan jiwamu karena puasa, . . . ,” (HR. Bukhari).
Hadits di atas ini berkaitan dengan Abdullah bin ‘Amr yang berpikir dirinya mampu mengerjakan Shaumud Dahr, namun dalam pandangan Rasulullah, Ibnu ‘Amr ini tidak mampu sehingga dilarang.
Beda halnya dengan Hamzah bin ‘Amr, yang dalam pandangan Rasulullah akan mampu melakukan Shaumud Dahr, sekalipun harus lelah karena perjalanan jauh. Rasulullah SAW mempersilakan kepada Hamzar bin ‘Amr untuk berpuasa atau tidak berpuasa.
Jadi, terdapat dua hukum yang berbeda untuk satu amalan Shaumud Dahr ini. Mengenai keutamaan, selain dari apa yang disebutkan Rasulullah SAW di atas, para ulama menjelaskan bahwa bagi pengamal Wirid dan Tirakat Dalail juga akan mendapatkan keutamaan tambahan.
Selain akan mendapatkan limpahan cahaya penerang jiwa, seseorang yang mengamalkannya akan terkabul hajatnya, baik hajat duniawi dan ukhrowi. Atas izin Allah, tidak sedikit yang telah mendapatkan pengabulan hajatnya di urusan usaha, pekerjaan atau perjuangan dengan mengamalkan Wirid dan Tirakat Dalail.
Sebenarnya, karomah pada Syeikh Jazuli dan kitab Dalailul Khairat ini tidak lepas dari syafaat Rasulullah SAW. Sebab, kitab Dalailul itu sendiri adalah kumpulan sholawat Nabi dan membaca sholawat kepada Nabi Muhammad SAW merupakan perintah Allah SWT. Firman Allah dalam al-Qur’an, “Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya,” (QS. Al-Ahzab [33]: 56).
Karena itulah, keampuhan mengamalkan Dalailul Khairat sebagai wiridan, ditambah dengan Puasa Dahr, tidak perlu diragukan lagi, terlebih sebagai sarana bagi kita semua untuk mendapatkan kebaikan dunia-akhirat.
Menggunakan bacaan sholawat sebagai wiridan tiap hari sudah pernah diamalkan oleh sahabat Nabi. Tujuan sahabat itu sendiri sebagian memang sebagai wasilah agar terbebas dari duka kehidupan dan masalah-masalah yang tak kunjung selesai.
Sebuah hadits diriwayatkan Imam At-Tirmidzi dengan sanad Hasan Shahih, dari Ubai bin Ka’ab Ra., ia bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, aku ingin memperbanyak sholawat kepadamu. Seberapa banyak harus aku lakukan?”Rasul menjawab: “Sesuka hatimu.” Kemudian Ubai bin Ka’ab berkata: “Seluruh sholawatku akan kupersembahkan untukmu”. Rasul menjawab: “Jika begitu, keresahan hatimu akan dihilangkan dan dosamu akan diampuni,” (HR. Tirmidzi).
Abul Qasim as-Subki dalam kitab ad-Durr al-Munazhzham fi al-Mawlid al-Mu’azhzham meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah SAW, “Barang siapa bersholawat kepada Ruh Muhammad di alam arwah, kepada jasad Muhammad di alam jasad, kepada kuburan Muhammad di kubur, maka ia akan melihatku di dalam mimpinya, dan barang siapa yang melihatku di dalam mimpi maka ia akan melihatku di hari kiamat, dan barang siapa yang melihatku di hari kiamat, aku akan memberinya syafaat, dan barang siapa yang aku beri syafaat maka ia akan minum di telagaku, dan Allah akan haramkan jasadnya dari api negara.”
Demikian tentang keutamaan kitab Dalailul Khairat, Puasa dan Wirid Dalail. Semua keberkahan dari Syeikh al-Jazuli maupun kitab monumentalnya tidak lepas dari syafaat Rasulullah SAW, karena sholawat Nabi adalah amalan yang paling besar pahalanya, apalagi diiringi dengan puasa sunnah. Semua itu adalah ajaran utama dalam agama Islam.
Menghidupkan Cinta Nurani, Mematikan Silogisme Nalar
Salah satu kendaraan sangat penting untuk menuju Allah SWT adalah cinta (mahabbah). Dengan cinta semua berubah. Kesengsaraan berubah menjadi kenikmatan, Kekurangan menjadi kelebihan. Cinta mengubah segalanya. Cinta mengubah seseorang yang terbatas menjadi makhluk yang tak terbatas dengan spiritnya dan cahaya imannya.
Apalagi jika cinta tersebut sudah merasuk menjadi bagian dari cahaya nurani. Energinya luar biasa. Jiwa, raga, harta, mahkota kekuasaan akan dikorbankan seseorang demi cinta tersebut. Cinta nurani melahirkan ungkapan kata, sikap, dan perilaku yang terkadang tidak bisa dijelaskan oleh silogisme nalar (kesimpulan yang berdasarkan otak dan fakta dhohir semata).
Tidak berarti silogisme nalar itu terlarang dalam Islam. Justru kita diperintahkan untuk menggunakan nalar. Hanya saja, posisi silogisme nalar jangan sampai malah mematikan iman dan keyakinan.
Sebaliknya, nalar dibutuhkan dalam menjalankan perintah iman dan keyakinan. Misalnya, kita diperintahkan untuk yakin bahwa Allah akan memberi kesuksesan atas usaha kita. Supaya keyakinan itu benar di praktik, kita diperintahkan untuk menggunakan nalar.
Ketika semua orang tidak percaya bahwa Rasulullah SAW telah di-isro dan mi’roj-kan, Abu Bakar dengan cinta nuraninya langsung percaya. Kalau menggunakan nalar saja, pasti sulit untuk mempercayainya. Bahkan harus menolak. Mana ada dalam satu malam seseorang dapat menembus langit tanpa teknologi apa-apa?
Sholawat, tirakat, dan berbagai olahraga jiwa (riyadhoh rohaniyah) yang dilatihkan di Bina Insan Mulia sesungguhnya adalah bagian dari proses pendidikan untuk menumbuhkan cinta nurani tersebut.
Cinta nurani mengeluarkan cahaya yang bersumber dari bahan bakar iman dan keyakinan. Ketika Rasulullah SAW diperintahkan untuk berhijrah ke Madinah, maka responnya adalah ketaatan yang penuh. Bahwa dalam proses untuk melaksanakan perintah itu membutuhkan nalar, ilmu, uang, dan seterusnya, itu semua tak bisa dihindari.
Tanpa cinta nurani, maka perintah Allah untuk hijrah ke Madinah di saat umat Islam sangat susah itu bisa disimpulkan sebagai kesalahan, menyalahi logika, dan harus ditolak. Kenapa? Bisa saja pertanyaan yang muncul beragam.
Sholawat adalah pendidikan cinta kepada Rasulullah SAW. Tanpa cinta, seseorang akan gagal memahami kalimat-kalimat dalam sholawat. Puasa sunnah dan berbagai shalat sunnah adalah urusan cinta nurani. Tanpa cinta, seseorang akan gagal untuk menjalankannya.
Kita semua tahu bahwa ajaran agama tidak bisa dijalankan hanya dengan bermodalkan cinta. Ada syari’ah dan ibadah dengan tindakan yang harus dijalankan. Tapi cinta punya posisi yang sangat berarti dalam semua ibadah. Tanpa cinta, ikhlas sulit diraih. Tanpa ikhlas, ibadah hanya menjadi serangkaian beban yang hampa makna.
Without the BoX Thinking adalah rubrik khusus di tribunnews.com di kanal Tribunner. berisi artikel tentang respon pendidikan Islam, khususnya pesantren terhadap perubahan zaman dan paparan best practices sebagai bahan sharing dan learning di Pesantren Bina Insan Mulia. Seluruh artikel ditulis oleh KH. Imam Jazuli, Lc, MA dan akan segera diterbitkan dalam bentuk buku. Selamat membaca.
*Penulis adalah Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia 1 dan Bina Insan Mulia 2 Cirebon. Pernah dipercaya sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. Penulis merupakan alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; juga alumnus Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; dan alumnus Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies.*