Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Timbun di Sini, Jual di Sana, Pamer di Sana Sini
Baik ibu pemilik warung kecil di belakang rumah saya maupun pedagang besar yang dianggap menimbun minyak goreng sama-sama memakai perhitungan
Editor: Daryono
Bagi pemilik warung kecil, menyimpan beberapa liter minyak goreng sudah membuatnya tertekan. Hati nuraninya merasa bersalah karena tidak mematuhi peraturan pemerintah. Di sisi lain ada pedagang yang ingin mempertahankan bahkan menambah untung dengan menimbun atau bahkan mengekspor minyak keluar negeri karena harganya lebih tinggi.
Korbannya Tetap Orang Kecil
Penimbunan barang apa pun—khususnya sembako—adalah permainan jungkat jungkit yang tidak adil: melejit di satu sisi dan kepejit serta menjerit di sisi lain. Monopoli membuat produsen bisa mengatur harga seenak mereka sendiri.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mensinyalir adanya indikasi kartel dalam dugaan penimbunan minyak goreng. Selama pemerintah tidak bisa mengatur distribusi sembako, pasti banyak orang yang memanfaatkan celah ini. Coba saja lihat di lapangan. Meskipun pemerintah mencoba menggelontor pasar dengan operasi pasar, tetap saja ada kekosongan minyak goreng di sana-sini.
Baca juga: JJC: Pencabutan HET Minyak Goreng Diharapkan Dapat Ciptakan Keseimbangan Harga
Kali ini pun rakyat yang jadi kambing hitam dengan tuduhan melakukan panic buying, padahal rakyat kecil seperti saya—seperti kera tadi—belinya ya untuk kebutuhan sendiri. Sebanyak-banyaknya kami beli, hanya untuk kebutuhan maksimal satu bulan.
Ketika seorang sahabat mengirimi saya migor lima kilogram yang bisa saya pakai sebulan, apakah saya termasuk penimbun?
Segregasi yang Bikin Miris
Pemisahan secara ekonomi membuat jurang perbedaan semakin dalam dan curam. Ungkapan yang kaya bertambah kaya dan yang miskin semakin miskin tidak boleh terus dibiarkan. Kehadiran pemerintah yang bisa membuat kebijakan terus dihadapkan. Victor Hugo tanpa tedeng aling-aling berkata, “The paradise of the rich is made out of the hell of the poor.”
Orang berpunya masih terus menimbun, sedangkan yang pas-pasan masih dituduh memborong minyak meskipun hanya membeli yang bisa ditentengnya. Miris bukan? Itulah sebabnya Eli Khamarov, menulis dengan nada getir: “Poverty is like punishment for a crime you didn’t commit.”
Keberpihakan pada Rakyat Kecil
Lalu bagaimana kita mengurai benang kemiskinan yang ruwet ini? Satu per satu dan keberpihakan kepada korban. Rakyat kecil bukan hanya perlu diberi pancing tetapi juga diajari caranya dan disediakan kolam ikannya.
Jokowi pun marah besar dan ngegas ketika banyak bawahannya yang lebih suka membeli barang impor ketimbang memakai produk sendiri. Bukankah selama ini presiden yang dikenal dekat dengan wong cilik ini terus-menerus mengingatkan kita agar UKM bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Desakan reshuffle bukan hanya ditujukan kepada menteri perdagangan tetapi juga siapa saja yang tidak mampu menyelesaikan masalah daerahnya. Itulah sebabnya saya setuju dengan Muhammad Yunus yang berkata tegas, “Poverty is not created by poor people. It is produced by our failure to create situations to support human capabilities.”
Penggagas konsep kredit mikro bagi kalangan bawah yang tak bisa pinjam uang di bank biasa ini sungguh cerdas. “Apa hebatnya teori ekonomi yang saya ajarkan itu manakala ada orang-orang yang sekarat di trotoar di seberang kuliah tempat saya mengajar sedang bergelut dengan rasa sakit yang mencekik?” ujar retorik penerima Nobel Perdamaian 2006 ini.