Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Agen-agen Perubahan dari Pesantren Lahir dari Manajemen Kebaikan, Kinerja dan Totalitas Ikhlas
Banyak kasus membuktikan bahwa kumpulan orang-orang yang hebat tidak secara otomatis menghasilkan kinerja yang hebat jika pengelolaannya tidak baik.
Editor: Husein Sanusi
Agen-agen Perubahan dari Pesantren Lahir dari Manajemen Kebaikan, Kinerja dan Totalitas Ikhlas
Oleh KH. Imam Jazuli, Lc, MA.
TRIBUNNEWS.COM - Jumlah guru, pembimbing, dan pegawai di Bina Insan Mulia 1 dan Bina Insan Mulia 2 sebanyak 200 orang. Itu di luar tukang, vendor, dan mitra. Keseluruhan bisa sampai 300 orang.
Ada yang pernah bertanya ke saya bagaimana mengelolanya secara ‘without the box thinking’, terutama untuk para guru dan pegawai? Pertanyaan semacam ini sangat beralasan karena di semua usaha, mau jasa atau barang, mau profit maupun non-profit, yang paling rumit adalah mengelola manusianya (human capital management”: HCM).
Banyak kasus membuktikan bahwa kumpulan orang-orang yang hebat tidak secara otomatis menghasilkan kinerja yang hebat jika pengelolaannya tidak baik. Sebaliknya, tidak sedikit lembaga yang bisa membuktikan bahwa kumpulan orang-orang yang biasa dapat menghasilkan kinerja lembaga yang bagus karena pengelolaannya yang bagus.
Memang, kalau bicara idealnya, yang paling diharapkan adalah kita mendapatkan orang-orang yang bagus dan kita pun mampu mengelolanya dengan bagus.
Tiga Adonan
Sebagai forum sharing dan learning (saling belajar dan berbagi pengalaman), saya kerap mengatakan bahwa Pesantren Bina Insan Mulia menggunakan tiga adonan pendekatan dalam mengelola para guru dan pegawai.
Pertama, menerapkan manajemen kekeluargaan. Manajemen berbasis kekeluargaan lebih menekankan aspek kedekatan, kerukunan, dan kegotong royongan. Saya sering makan bersama dengan mereka di rumah, di pesantren atau di luar. Karena banyak dari mereka yang menjalankan Puasa Dalail, saya kerap mengajak mereka berbuka puasa di luar juga.
Urusan kebutuhan rumah tangga mereka di hampir sebagian besar aspek bahkan ditanggung olen pesantren. Mulai dari Kapling Rumah, liburan, lahiran anak, Kesehatan, sampai ke pendidikan baik untuk mereka sendiri maupun anak mereka. Sangat sering mereka saya undang ke rumah untuk membahas banyak hal, atau mereka datang untuk mengkonsultasikan urusan rumah tangga, Inilah bentuk pendekatan kekeluargaan.
Kedua, menerapkan manajemen professional di mana setiap orang mendapatkan apa yang diusahakan sesuai dengan posisinya, kualifikasinya, kompetensinya, dan pastinya berdasarkan kinerjanya. Untuk mendapatkan penilaian kinerja yang mendekati akurat, Pesantren Bina Insan Mulia menerapkan performance appraisal system (PAS).
Semula saya berpikir bahwa PAS itu berasal dari Barat dan hanya tepat untuk digunakan di industry atau bisnis. Tetapi setelah saya diberi paparan dan saya kaji, justru isinya sangat qur’ani. Manajemen penilaian menghasilkan dasar keputusan bahwa orang yang bekerja banyak harus mendapatkan yang lebih banyak. Orang yang banyak melakukan kesalahan atau pelanggaran harus mendapatkan konsekuensi dari perbuatannya. Dan semua itu ada hasil catatannya.
Demikian juga soal jabatan atau posisi. Pesantren Bina Insan Mulia telah berusaha menerapakan formula 3P dalam reward management, yaitu pay for People, pay for Performance, dan pay for Position. Tentu bentuknya bervariasi yang disesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya, seluruh kepala sekolah, baik SMP, SMA, SMK, dan Aliyah mendapatkan kendaraan operasional. Demikian juga para direktur dan pimpinan lembaga yang tetap diberikan reward lain sesuai dengan kebutuhannya.
Jadi, ada dasar yang membuat kita bisa lebih adil dan sebagaimana yang sudah kita pahami dari al-Quran, keadilan itu lebih mendekatkan kita pada ketakwaan. Bukankah ini ajaran Islam yang sangat inti? Sistem penilaian kinerja professional memungkinkan seorang pemimpin untuk lebih adil dalam memberikan reward and punishment.
Ketiga, manajemen personal-spiritual. Ini lebih menggambarkan hubungan kiai dan santri. Hubungan kiai-santri tidak mengenal masa kadaluwarsa. Sampai sekarang ini, saya adalah santri dari kiai-kiai saya dulu. Demikian juga guru-guru dan pegawai di Pesantren Bina Insan Mulia. Mereka semua adalah santri saya.
Sebagai santri, mereka perlu mendapatkan pengetahuan, pengalaman, hikmah, keahlian yang terus bertambah. Karena itu, selain mereka aktif mengaji dengan saya, tidak sedikit dari mereka yang mendapatkan bantuan dari pesantren untuk menyelesaikan kuliah tingkat S1 dan S2. Total sampai sekarang jumlah kader yang mendapatkan S1 dan S2 sebanyak 45 orang.
Tidak sampai di situ. Beberapa guru senior saya arahkan untuk berkiprah di luar pesantren, khususnya di Cirebon dan Jawa Barat dengan posisi yang bermacam-macam. Ada yang di lembaga RMI (Robithoh Ma’ahid al-Islamiyah-Asosiasi Pesantren) PWNU Jabar, Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) PWNU Jabar MUI (Majlis Ulama Indonesia) Kabupaten Cirebon, PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PAN (Partai Amanat Nasional), PDIP ( Partai Demokrasi Indonesia- Perjuangan), Komisaris di perusahaan dan lain-lain.
Dengan menerapkan tiga adonan di atas, harapan saya mereka memiliki banyak pilihan untuk berkembang dan mengembangkan para santri. Ada yang bertanya lagi ke saya, “Apakah Pak Kiai tidak khawatir mereka akan pindah ke tempat lain setelah mereka eksis di luar? Saya katakan bahwa justru saya lebih khawatir kalau mereka ikut saya tapi tidak berkembang.
Mengharapkan Perubahan tapi Tidak Berubah, Bagaimana Bisa?
Hampir semua pesantren bila ditanya apa cita-citanya yang paling tinggi, insya Allah jawabannya akan mengerucut ke satu gerakan, yaitu perubahan. Pesantren ingin mencetak agen-agen perubahan di masyarakat melalui alumninya. Sebagian pesantren terus menerus mendoktrin guru-guru dan santrinya untuk mengubah masyarakat dengan nilai-nilai dan ajaran Islam.
Lama-lama membuat saya berpikir jika target tertinggi yang menjadi impian pesantren adalah perubahan, tapi kenapa sistem pengelolaan guru-guru dan pegawai yang merupakan asset utama masih banyak yang tidak berubah. Kalau begini, terus bagaimana?
Sistem pengelolaan guru-guru di pesantren masih banyak yang jauh dari terwujudnya harapan kesejahteraan yang normal. Karena manusia makhluk materil selain juga spiritual, maka tidak sedikit dari guru pesantren yang menjadikan ngajar di pesantren sebagai sambilan. Atau juga mencari pekerjaan lain untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.
Sistem pengelolaan guru-guru di pesantren juga masih banyak yang belum mampu membedakan siapa-siapa yang berkinerja tinggi sehingga harus mendapatkan balasan yang lebih tinggi di antara mereka yang berkinerja biasa-biasa dan rendah. Semua orang diperlakukan sama untuk hal-hal yang harus dibedakan. Seringkali hanya dibedakan dari aspek senioritas atau lamanya bekerja.
Sistem pengelolaan guru-guru di pesantren juga masih banyak yang belum mampu meningkatkan kualitas insani, seperti pendidikan, keahlian, dan kiprah. Masih banyak pesantren yang membiarkan guru-guru dan pegawai menikmati hidup yang statis secara ilmu, keahlian, dan kiprah.
Sebagai komitmen saya terhadap perubahan yang menjadi cita-cita pesantren, maka sejak Pesantren Bina Insan Mulia berdiri, saya telah menggandeng konsultan professional untuk membantu saya meningkatkan kapasitas human capital dari para guru dan pegawai.
Sebuah penelitian yang saya baca menemukan fakta bahwa otak manusia yang diberi banyak rangsangan (stimulant), ternyata berbeda jauh dengan otak yang krisis rangsangan. Ternyata tidak hanya otak manusia yang begitu, otak tikus pun berbeda ketika diberi banyak rangsangan.
Jika kita kembalikan ke keberadaan guru-guru dan pegawai di pesantren, bukankah rangsangan itu bisa kita hadirkan dalam bentuk yang bermacam-macam? Mulai dari perpustakaan, internet, sharing dengan pihak lain, training skill, training motivasi, penugasan, melanjutkan pendidikan, dan lain-lain. Rangsangan adalah syarat untuk menghasilkan perubahan.
Bisa kita bayangkan bahwa jika pengelolaan guru-guru dan pegawai di pesantern masih ala kadarnya dan tetap menolak perubahan di tengah dunia yang terus berubah, maka semakin sedikit generasi santri, terutama yang hebat-hebat, yang mau mengabdi di pesantren.
Kalau pun ada, itu sudah pilihan terakhir. Kenapa bisa terjadi? Karena kita hari ini belum berjuang total untuk menciptakan ‘brand’ dan kualitas yang bagus bagi profesi guru dan pegawai di pesantren. Di samping itu, mereka yang hari ini berkhidmah di pesantren menjadi tidak total, atau sebagai sambilan, atau juga masih mencari sampingan lain.
Saatnya pesantren di Indonesia memperbarui penafsiran dan penerapan konsep ikhlas yang merupakan perintah Allah yang paling mendasar dalam melakukan kebajikan. "Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar)," (QS. al-Bayyinah: 5).
Banyak yang masih menafsirkan ikhlas itu lawan dari tidak dibayar, lalu dipraktikkan sebagai perbuatan yang dilakukan sekedarnya atau sampingan saja sehingga muncul istilah seikhlasnya. Padahal, ikhlas yang diajarkan Al-Quran dan yang dipraktikkan orang-orang sholeh adalah perbuatan yang dilakukan dengan totalitas hati yang didasari oleh perintah Allah atau hanya mengharap ridlo Allah sehingga hasilnya maksimal.
Urusan dibayar atau tidak dibayar, ini masuknya ke wilayah hubungan antarmanusia (mu’amalah bainan nas). Pada hubungan antarmanusia tentu variatif kondisinya. Ada yang harus dibayar dan ada yang tidak. Ada yang sebaiknya dibayar dan ada yang sebaiknya tidak.
Sementara ikhlas berada di wilayah hubungan antara kita dengan Allah SWT. Saking istimewanya itu ajaran ikhlas, sampai-sampai malaikat sendiri tidak diberi otoritas oleh Allah untuk menentukan apakah si A itu ikhlas atau tidak. Ikhlas adalah ibadah hati yang dampaknya ke perbuatan. Dengan hati yang total maka aksi seseorang menjadi optimal. “Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian tetapi Ia melihat hati dan amal kalian,” (HR. Muslim).
Artinya, pengelolaan HCM (human capital management) di pesantren perlu menerapkan konsep ikhlas menurut ajaran al-Quran (totalitas hati), bukan ikhlas yang pengertiannya menurut bahasa pergaulan kita yang ditafsirkan sebagai perbuatan yang tidak dibayar atau perbuatan yang dilakukan sekadarnya.
Sudah saatnya guru-guru di pesantren bergerak dengan target yang tinggi untuk menghasilkan kinerja lembaga yang bagus. Sudah saatnya perlakuan guru-guru di pesantren dibedakan untuk hal-hal yang harus dibedakan. Give the best for the best, berilah yang terbaik kepada mereka yang terbaik juga. Tentu dengan tetap menjaga nilai-nilai yang menjadi karakteristik pesantren sebagai lembaga pembinaan akhlak karimah, ilmu, dan penggemblengan bakat insani.
Manajemen Kebaikan dan Kinerja
Ketika saya masih aktif mengelola perusahaan dulu, sering ada kasus yang muncul di perusahaan, termasuk di perusahaan saya. Ternyata tidak semua kebaikan yang kita berikan kepada orang-orang kita, maksudnya kepada para pegawai, itu secara otomatis berdampak pada peningkatan produktivitas.
Artinya, kebaikan perusahaan tidak secara kausatif (sebab-akibat) melahirkan perbaikan kinerja. Bahkan ada hasil riset yang pernah saya baca di mana insentif perusahaan dapat berubah menjadi boomerang (senjata makan tuan). Ini juga bisa terjadi di lembaga pesantren atau dimana pun juga.
Kok bisa? Terus bagaimana penjelasannya? Kasus demikian ini jika kita kembalikan kapada petunjuk ajaran agama, langsung kita dapat temukan jawabannya. Islam mengajarkan bahwa kebaikan itu tidak cukup diberikan hanya karena punya semangat yang baik atau ingin berbuat baik.
Agar kebaikan itu membuahkan kebaikan yang banyak, diperlukan ilmu yang dapat membekali kita untuk melihat aspek lain. Di antaranya adalah bagaimana cara kebaikan itu kita sampaikan, dalam kondisi seperti apa, untuk siapa, berapa ukurannya, lalu dampak yang kita inginkan seperti apa, dan seterusnya. Paslah jika dikatakan bahwa Islam adalah agama ilmu.
Semua perintahnya terkait kehidupan dunia dan akhirat harus dijalankan dengan ilmu. Intinya, kebaikan itu perlu diberikan atas dasar iman dan dikelola dengan ilmu. Perpaduan antara iman dan ilmu itulah yang dapat membuahkan kebaikan berlipat ganda.
Belajar dari praktik manajemen di dunia, supaya kebaikan yang kita berikan itu membuahkan kinerja lembaga, ada beberapa hal yang penting untuk kita perhatikan.
Pertama, kebaikan yang kita berikan itu harus dibarengi dengan penjelasan mengenai target pencapaian yang diinginkan. Atau dengan kata lain, perlu ada penjelasan mengenai kriteria sukses yang terukur. Misalnya, saya mentargetkan guru dan pembimbing untuk menghasilkan sukses di atas 50% bagi peserta Tahfidz Bima-Qu.
Kebaikan lembaga yang diberikan tanpa dibarengi dengan penjelasan mengenai target prestasi seringkali menjadi shodaqoh biasa. Kita semua tahu bahwa shodaqoh itu mendatangkan kebaikan berlipat ganda, tetapi untuk bisa menghasilkan kinerja organisasi, tentu tidak cukup diberikan begitu saja.
Kedua, kebaikan yang kita berikan juga perlu divariasikan caranya dan bentuknya. Ada yang perlu disampaikan secara terbuka dengan kreteria yang jelas supaya mendorong orang lain, tetapi perlu juga ada yang perlu disampaikan dengan cara tersembunyi dengan alasan-alasan yang sudah kita pikirkan.
Salah dalam menerapkan cara dapat menjadi blunder yang justru tidak memotivasi. Pembagian beasiswa S1 & S2, pembagian mobil operasional, bantuan kepada santri-santri yang melanjutkan study ke luar negeri, atau bantuan pembelian kavling tanah untuk para asatidz kerap dilakukan secara terbuka dengan kriteria yang jelas.
Tujuannya adalah untuk memotivasi yang lain. Bahkan saya meminta Bagian Media untuk memviralkan di media social agar dipelajari oleh pesantren lain atau lembaga Islam lain. Dan setelah menjadi viral dimana-mana, banyak yang datang ke saya untuk sharing (berbagi pengalaman) mengenai pengelolaan guru (asatidz/asatidzat).
Tidak saja caranya yang perlu kita variasikan, bentuknya juga perlu dipadukan berupa materi dan non-materi, apalagi untuk orang pesantren. Kebaikan material saja seringkali malah kurang mendapatkan tanggapan dan pemaknaan positif sehingga perlu dibarangi dengan kebaikan non-material. Misalnya, diberi kesempatan untuk berbuat baik, diberi kesempatan untuk menjadi lebih mulia di mata manusia dan Allah, dan seterusnya.
Ketiga, kebaikan yang kita berikan pun perlu diikuti dengan pengawasan atau pendampingan jika yang kita harapkan adalah adalah kinerja yang lebih baik dan pahala. Kenapa diperlukan? Kinerja seseorang terkait langsung dengan keahlian dan kemauan dan keduanya seringkali membutuhkan pengawasan.
Meski tidak seluruhnya tetapi sebagian besar pekerjaan yang saya tugaskan dan delegasikan tetap ada pengontrolan, pengawasan, dan pendampingan. Kecuali untuk pekerjaan yang sifatnya rutin dan hasilnya sudah bisa diprediksi. Biasanya saya hanya butuh laporan. Dengan cara seperti inipun masih kebobolan terkadang. Misalnya seleksi khotib jumat yang meskipun sudah rutin, tapi pada kenyataannya tidak bisa dilepas total. Tetap perlu control melalui sistem.
Keempat, kebaikan yang kita berikan pun perlu dievaluasi, baik dari sisi kita maupun dari sisi orang yang menerima, dan dari sisi dampaknya bagi lembaga. Tanpa evaluasi, perbaikan kinerja sulit kita tingkatkan. Evaluasi gunanya bukan untuk menyalahkan kesalahan, tetapi lebih pada menemukan celah perbaikan (on-going improvement).
Konon, bangsa Jepang punya Keizen yang kalau diterjemahkan ke bahasa kita menjadi perbaikan terus menerus. Keizen inilah yang sangat besar sumbangannya bagi kemajuan mereka di bidang industry.
Tentu untuk mengevaluasi dibutuhkan standar penilaian. Sejak Pesantren Bina Insan Mulia berdiri, standar penilaian para guru dan pegawai telah ditetapkan dengan mengacu pada loyalitas, kejujuran, kepintaran, dan prestasi. Standar ini sangat membantu kegiatan evaluasi.
Jadi, karena pesantren adalah lembaga yang terus memperjuangkan perubahan masyarakat dan menjadi tumpuhan harapan bagi lahirnya agen-agen perubahan, maka sudah saatnya pesantren pun perlu menciptakan perubahan dalam mengelola asset insaninya (human capital).
*) Penulis adalah pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia 1 dan Bina Insan Mulia 2 Cirebon. Pernah dipercaya sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. Penulis merupakan alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; juga alumnus Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; dan alumnus Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies.