Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Terawan dan Chairil Anwar
Perseteruan “abadi” dokter Terawan Agus Putranto versus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memasuki babak baru.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra*
TRIBUNNEWS.COM - Perseteruan “abadi” dokter Terawan Agus Putranto versus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memasuki babak baru.
IDI hendak menyamakan skor 1-1, dengan memecat permanen mantan Menteri Kesehatan itu. Jika sebelumnya skornya 1-0 untuk Terawan, tak lama lagi skor itu mungkin akan menjadi 1-1.
Atau justru akan menjadi 2-0 untuk Terawan lagi? Bisa jadi Terawan di ambang kemenangan.
Ya, gara-gara metode "digital substraction angiography" (DSA) atau "cuci otak" yang dikreasikan Terawan untuk terapi pencegahan dan pengobatan stroke yang dinilai IDI tidak sesuai prosedur, pada 12 Februari 2018 Terawan diberhentikan sementara dari keanggotaan IDI.
Namun nasib berkata lain.
Pada 27 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo mengangkat wong Semarang itu menjadi Menkes.
Baca juga: Panggung Demokrasi Tribunnews 30 Maret 2022: Terawan Dipecat IDI
Sanksi IDI akhirnya tidak dijalankan Terawan, namun IDI diam saja.
Mungkin IDI tidak berani melawan Jokowi. Skor 1-0 untuk Terawan.
Kini, setelah Terawan lengser, dan dengan dalih yang merupakan kelanjutan sanksi yang pertama, yakni Terawan belum menyerahkan bukti telah menjalankan sanksi sesuai SK MKEK No 009320/PB/MKEK-Keputusan/02/2018 tertanggal 12 Februari 2018 sampai hari ini, plus tudingan Terawan melakukan promosi vaksin Nusantara yang belum selesai penelitiannya, IDI kembali memecat Terawan dari keanggotaan IDI.
Kali ini secara permanen, plus mencabut izin praktik dokter Terawan untuk selamanya. Skor belum bisa dikatakan 1-1 karena prosesnya belum rampung.
Akankah Terawan kembali menang? Tampaknya demikian. Dukungan dari berbagai pihak terus mengalir.
Terutama DPR. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad bahkan tidak hanya mendesak pembatalan pemecatan Terawan, melainkan juga memproses hukum pihak yang memecat Terawan karena telah menimbulkan kegaduhan.
Pemecatan Terawan juga dinilai Dasco tidak sah, karena saat Muktamar ke-31 IDI digelar di Banda Aceh, Jumat (25/3/2022), di mana Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) merekomendasikan pemecatan Terawan, pengurus lama IDI sudah demisioner, dan pengurus baru IDI belum dilantik.
Jadi ada “vacuum of power” (kekosongan kekuasaan) di tubuh IDI. Nah, lho!
Tak mau kalah, Komisi IX DPR pun mengundang IDI untuk didengar keterangannya, salah satunya soal pemecatan Terawan, Selasa (29/3/2022).
Sayangnya, dengan dalih sedang mempersiapkan berkas Muktamar ke-31 di Banda Aceh, IDI tidak datang.
Sederet pejabat dan elite politik telah membuktikan keampuhan metode DSA kreasi Terawan.
Diantaranya Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, mantan Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono, mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud Md, dan mendiang Ibu Negara Ny Ani Yudhoyono.
Kecuali Ny Ani yang memang sudah wafat, rata-rata mereka tak setuju terhadap langkah IDI memecat Terawan.
Sajak “Aku”
Kreativitas memang kerap tak mendapat tempat dalam sebuah komunitas. Ibarat baris-berbaris, Terawan dianggap telah keluar dari barisan.
Ibarat sekawanan domba, Terawan telah menjelma menjadi serigala. Supaya domba-domba itu tidak terancam, sang serigala harus diusir dari kawanan.
"Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang," tulis Chairil Anwar (1922-1949) dalam sajaknya, "Aku" (1943) yang tampaknya representatif untuk menggambarkan keberadaan Terawan di IDI.
Ya, Terawan mirip dengan Chairil Anwar yang karena kreativitasnya sempat ditolak oleh komunitasnya.
Dengan dalih sajak “Aku” terlalu individualistis, saat itu banyak majalah atau penerbit yang menolak memuat sajak karya Chairil Anwar itu.
Sikap pemerintah kolonial Jepang yang saat itu represif dijadikan alasan. Akhirnya terbukti eksistensi Chairil Anwar tak terelakkan. Bahkan dia dinobatkan sebagai sastrawan pelopor Angkatan 1945.
Keberadaan vaksin Nusantara juga akan mengancam vaksin-vaksin lain yang dibeli dengan impor.
Ada banyak pihak yang berkepentingan dengan impor vaksin. Maka sempurnalah penyingkiran Terawan dari IDI.
Tapi, Terawan bukanlah anak bawang. Jenderal bintang tiga TNI itu kerap melakukan perlawanan untuk mempertahankan eksistensinya atau bahkan sekadar survive.
Kali ini pun dia pasti akan melawan. Apalagi aroma kemenangan sudah mulai menyebar.
“Maka hanya ada satu kata: lawan!” kata penyair Widji Thukul (1963-1998) dalam sajaknya, “Peringatan” (1986).
Seperti Chairil Anwar dalam sajaknya "Aku", Terawan pun mungkin akan berkata:
"Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi".
* Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media