Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Candi Borobudur dan Pelajaran dari China
Lebih baik pemerintah mencurahkan perhatian untuk mengedukasi masyarakat agar menghargai dan mencintai peninggalan nenek moyangnya
Editor: Eko Sutriyanto
Oleh : Novi Basuki *)
TERNYATA rencana pengubahan harga tiket naik ke Candi Borobudur juga ramai dibincangkan di China, terutama oleh para Indonesianis.
Saya ikut grup medsos yang di dalamnya berisi akademisi-akademisi China yang meneliti Indonesia itu.
Ada yang menulis pendapatnya cukup panjang di sana. Sayang, premisnya kurang tepat: penulisnya, seperti tak sedikit masyarakat kita, mengira harga yang dinaikkan adalah tiket masuk, bukan tiket naik ke Borobudur.
Namun begitu, tetap tidak merusak inti tulisannya. Yaitu: mengkritisi (untuk tidak mengatakan tidak menyetujui) wacana Menkomarves Luhut Binsar Pandjaitan yang akan menaikkan harga tiket naik ke Borobudur menjadi Rp750 ribu.
Adapun alasannya, ada dua.
Pertama, dibandingkan dengan tiket masuk Istana Terlarang yang cuma RMB60 (atau sekitar Rp120 ribu), tarif Rp750 ribu ini menurutnya adalah “tianjia” (harga yang kelewat melangit). Mahalnya kebangetan. Padahal, baik Borobudur maupun Istana Terlarang, sama-sama merupakan warisan dunia yang terdaftar di UNESCO.
Padahal, mau itu GDP per kapita ataupun daya beli masyarakat China, jelas jauh lebih tinggi ketimbang penduduk Indonesia.
Baca juga: Tarif Tiket Borobudur Batal Naik, Ketua Komisi X DPR Apresiasi Presiden Jokowi
Kedua, jika jadi didongkrak harga tiketnya, dikhawatirkan secara tak langsung akan terjadi diskriminasi. Hanya yang beruang yang dapat akses. Masyarakat bawah tidak.
Dengan demikian, pengunjung Borobudur bisa-bisa berkurang. Kalau yang datang ke Borobudur menurun, akan berdampak pada perekonomian masyarakat sekitar.
Lebih-lebih pelaku UMKM. Pemulihan ekonomi nasional pasca-pandemi pun tak menutup kemungkinan akan terdestruksi.
Kekhawatirannya itu barangkali didasari oleh fakta-fakta sebelumnya. Bahwa, bahkan sebelum gaduh penaikan harga tiket inipun, Bodobudur --sebagai destinasi wisata-- belum bisa membawa manfaat ekonomi yang merata bagi desa-desa di seputarnya.
Pengamat dari China tadi menyarankan rencana penaikan harga tiket naik ke Borobudur dievaluasi kembali.
Mungkin ini didasari oleh pengamatannya terhadap pengalaman negaranya dalam mengelola peninggalan-peninggalan historisnya.