Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pentingnya Edukasi Penyakit Mulut Kuku agar Tidak Mengurangi Esensi Idul Adha
Masyarakat dibuat khawatir mengenai merebaknya pemberitaan penyebaran Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada hewan ternak yang dijadikan kurban.
Editor: Daryono
Oleh Umi Fatmawati, Dosen di Prodi Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Sebelas Maret Surakarta
TRIBUNNEWS.COM - Umat Islam di Indonesia tengah berbahagia menikmati perayaan Idul Adha tahun ini, karena sudah diperbolehkan menjalankan ibadah sholat Ied dengan kapasitas 100 persen tanpa ada pembatasan seperti tahun-tahun sebelumnya ketika pandemi merebak. Masyarakat mulai antusias dan semangat dalam menjalankan ibadah di hari raya selain sholat ied dan penyembelihan hewan kurban. Namun, beberapa hari terakhir, masyarakat dibuat khawatir mengenai merebaknya pemberitaan penyebaran Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada hewan ternak yang dijadikan kurban seperti sapi, kambing, dan domba.
Bahkan juga beredar isu di media sosial bahwa wabah PMK meningkat menjelang Idul Adha bertujuan untuk mengganggu perayaan Idul Adha, dan tidak sedikit muncul kekhawatiran warga akan penularan penyakit PMK pada manusia hingga menjadikan penyebarannya meluas seperti pandemi Covid-19. Maka dari itu, perlu adanya edukasi terutama bagi masyarakat awam dan juga umat Islam yang sedang merayakan Idul Adha tahun ini agar tidak perlu khawatir terhadap penyebaran PMK dan penularan pada manusia.
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) adalah penyakit yang menyerang tidak hanya pada hewan ternak seperti sapi, kambing, domba, kerbau, unta, babi, tetapi juga menyerang pada hewan liar seperti rusa, caribou, dsb. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi dari virus genus Aphthovirus, family Picornaviridae. Penyakit ini pernah ditemukan di seluruh dunia termasuk di wilayah Amerika Utara dan Eropa Barat yang merupakan wilayah mayoritas produsen hewan ternak dan menjadikan kendala ekonomi yang signifikan pada masa itu.
Di Indonesia penyakit PMK terdeteksi pertama kali pada tahun 1887 bersamaan dengan adanya impor sapi dari Belanda. Sempat hilang dan timbul, PMK kembali mewabah di Indonesia pada tahun 1970an. Namun pada era Presiden Suharto wabah ini dapat ditangani dengan baik melalui kerja sama dengan tenaga ahli dokter hewan dari Australia. Upaya yang dilakukan pada saat itu adalah pengembangan obat dan vaksinasi masal, pemusnahan hewan ternak yang terinfeksi, dan monitoring lalu lintas ternak dari dalam maupun luar negeri.
Indonesia dinyatakan bebas PMK selama 32 tahun hingga awal tahun 2022 PMK kembali terdeteksi menginfeksi beberapa hewan ternak kambing dan sapi yang masing-masing diimpor dari Negara Malaysia dan India. Di mana kedua negara ini statusnya adalah negara yang belum bebas PMK. Hingga saat ini PMK telah menyebar ke 21 propinsi dan 231 kota/kabupaten di Indonesia. Berdasarkan data situs siagapmk.id per Senin 4 Juli 2022 tercatat kasus aktif sebanyak 205.193 ekor, sembuh 106.687 ekor, dan mati sebanyak 2.005 ekor.
PMK adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dan sangat menular pada hewan ternak dan satwa liar berkuku belah. Tingkat mortalitas lebih tinggi pada hewan usia muda. Tidak jarang sapi dewasa dapat sembuh setelah terinfeksi virus PMK. Transmisi virus PMK dapat diperantarai melalui sekresi maupun ekskresi cairan dari binatang yang terinfeksi seperti melalui air liur, susu, urin, feces, cairan semen. Di dalam cairan tersebut akan terbentuk vesikel virus sehingga dapat menyebar di seluruh organ. Virus dapat masuk melalui inhalasi atau pada saat mengkonsumsi makanan, selain itu melalui lesi kulit dan selaput lender. Sapi sangat rentan terhadap virus di aerosol. Transmisi seksual juga dapat terjadi pada hewan kerbau Afrika. Dengan berbagai metode transmisi, PMK tergolong ke dalam penyakit dengan penularan yang sangat cepat.
PMK memiliki masa inkubasi antara 2-7 hari, dan pada masa ini virus mulai memperbanyak diri di dalam naso-pharyngeal. Setelah 24 jam, jumlah partikel virus akan meningkat dan dijumpai di otot, kelenjar limfa, sumsum tulang, dan sebagainya. Gejala klinis berikutnya adalah hewan akan mengalami demam tinggi dan timbul lesi yang khas pada moncong, lidah, lubang hidung, mulut, dan kaki. Saliva juga akan diproduksi berlebih, sapi akan kesulitan berdiri maupun berjalan. Produksi susu dan berat karkas juga menurun. Sebagian sapi akan sembuh dalam waktu sekitar 2 minggu dan lesi akan kering dalam waktu 30 hari setelah infeksi. Selain itu, antibody juga akan berkembang setelah 5-14 hari dan probabilitas virus akan semakin rendah. PMK memiliki morbiditas tinggi tetapi mortalitas rendah. Kerugian oleh adanya PMK ditaksir mencapai 9,9 Triliyun rupiah per tahun berdasarkan data dari Kementrian Pertanian.
Seiring dengan gencarnya pemberitaan mengenai merebaknya PMK di Indonesia di pertengahan tahun ini, tentunya membuat kepanikan masyarakat kembali meningkat pasca penurunan kasus Covid-19. Bahkan Presiden Joko Widodo menginstruksikan untuk penanganan wabah PMK dilakukan kebijkan seperti PPKM pada pandemic Covid-19. Juga pembentukan Satgas PMK agar dapat bergerak cepat berkaca dari penanganan Covid-19. Selain itu diinstruksikan penerapan protocol pencegahan penyebaran PMK carrier melalui desinfeksi kandang dan vaksinasi sapi.
Kemunculan wabah PMK mendekati masa Idul Adha tentunya juga menimbulkan berbagai isu penularan penyakit PMK ke manusia menjadikan masyarakat khawatir dan ragu dalam penyembelihan, penanganan, dan pengolahan daging kurban. Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo menegaskan bahwa PMK bukan termasuk penyakit zoonosis dan tidak menular ke manusia. Namun justru yang harus diperhatikan bahwa manusia bisa menjadi perantara atau agen transmisi penularan PMK pada hewan yang peka. Maka dari itu, pentingnya edukasi terhadap masyarakat akan PMK dan penyebarannya, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir akan tertular, tetapi juga dapat berperan aktif dalam mencegah penyebaran PMK pada hewan ternak, dan dapat meminimalisir kerugian ekonomi akibat infeksi PMK.
Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh peternak maupun tenaga kesehatan hewan untuk mengurangi penyebaran PMK khususnya dalam menyambut perayaan Idul Adha dilakukan melalui biosekuriti yaitu:
1). Memperhatikan asal-usul hewan apakah berasal dari zona tertular atau tidak.
2). Mendesinfeksi semua peralatan dan material yang terinfeksi (kandang, mobil angkut, baju, dll).
3). Pemberian vaksin pada hewan ternak.
4). Pemusnahan bangkai hewan dan produk hewan yang terinfeksi.
5) Tindakan karantina.
Sedangkan untuk pengobatan dan penanganan PMK pada hewan ternak terinfeksi dapat dilakukan dengan:
1) pemotongan dan pembuangan jaringan yang terinfeksi.
2) kaki hewan yang terinfeksi diobati dengan antibiotik dan larutan cuprisulfat.
3). Dilakukan injeksi intravena preparat sulfamidine.
4). Pengobatan hewan yang terinfeksi harus dilakukan secara terpisah.
Jika di suatu wilayah terindikasi muncul wabah PMK maka pemerintah setempat melalui satgas perlu menerapkan kebijakan pengentian sementara lalu lintas perdagangan dan pengankutan hewan (keluar dan masuk daerah wabah) serta pengendalian ketat produk hewan berbasis resiko. Hal ini bertujuan untuk mencegah penyebaran virus PMK ke daerah lain.
Masyarakat tidak perlu khawatir jika hewan kurban sebelum disembelih harus dipastikan bebas dari penyakit PMK oleh dokter hewan maupun tenaga kesehatan hewan sejak hewan berada di lapak penjualan dan di tempat penampungan. Sedangkan untuk penanganan dan pengolahan daging kurban dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan tangan, pisau potong, tempat pemotongan, dan pakaian petugas.
Setelah hewan disembelih dan mati dengan sempurna, dilakukan pengulitan karkas dengan cara digantung agar karkas tidak terkontaminasi dengan bakteri yang ada di lantai serta pengeluaran darah karkas dapat lebih maksimal. Daging dan jeroan juga harus dipisahkan karena jeroan mengandung banyak kuman, jeroan kemudian dicuci bersih dan direbus terlebih dahulu untuk membunuh kuman. Organ hati dan paru-paru juga harus diperhatikan apakah muncuk indikasi penyakit missal adanya cacing hati atau penyakit TBC, maka organ tersebut dilarang untuk dikonsumsi.
Untuk pengemasan daging kurban sebaiknya menggunakan plastik polyethylene transparan yang bersih atau dapat juga menggunakan besek bambu memiliki sifat antibakteri. Pengemasan daging dan jeroan harus terpisah, usahakan daging dan jeroan tidak dibiarkan pada suhu ruang (25°-30 °C) lebih dari 4 jam. Daging yang akan disimpan tidak perlu dicuci dengan air untuk menghindari kontaminasi bakteri dari air. Penyimpanan daging sebaiknya sebaiknya dilakukan di freezer pada suhu -18°C dan dapat bertahan selama 5-9 bulan. Sedangkan untuk pengolahan daging agar aman dikonsumsi harus dipastikan dimasak dengan matang keseluruhan, dan dimasak minimal pada suhu 71°C agar semua virus dan bakteri mati, namu tetap mempertahankan nutrisi, tekstur dan cita rasa daging.
Pemberian edukasi dan pengetahuan ke masyarakat harus tepat mengenai pencegahan PMK, penanganan, dan pengolahan daging hewan kurban oleh otoritas kesehatan terkait, akademisi dan pemerintah setempat. Hal ini ditujukan agar masyarakat tidak perlu khawatir dengan penyebaran dan penularan penyakit PMK.
Selain itu, yang terpenting adalah di momen Idul Adha tahun ini, masyarakat dapat dengan tenang merayakan hari raya kurban tanpa mengurangi esensi dari makna Idul Qurban yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dan juga mendekatkan diri kepada sesame manusia melalui berbagi daging kurban yang sehat dan bebas PMK. (*)