Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ibnu Khaldun, Bapak Sosiolog Muslim Pertama
Ibnu Khaldun lahir di Tunis, 27 Mei 1332. Kala itu Tunisia di bawah kekuasaan Daulah Hafshiyah.
Editor: Husein Sanusi
Pada mulanya, Ibnu Khaldun berpikir dia tidak akan berhubungan dengan masalah-masalah politik. Ia ingin cabut diri dari apapun yang berbau politik. Akhirnya, ia kepikiran untuk pergi dari Mursia menuju Tlemcem, Aljazair. Ia disambut oleh Muhammad bin 'Arif, tokoh terkemuka Bani 'Arif, pada tahun 776 H./1374 M.
Suku Bani ‘Arif ini menghormati dan memuliakan Ibnu Khaldun, sehingga ia punya kesempatan emas untuk menyelesaikan penulisan Al-‘Ibar wa Al-Diwan tersebut. Saat itu, usianya sudah mencapai 45 tahun. Pada 779 H./1377 M., kitab Muqadimah selesai. Kemudian ia istirahat lima bulan kemudian sebelum melanjutkan.
Semula, kitab Al-‘Ibar ini tidak dimaksudkan mencatat seluruh kisah tentang khalifah. Ibnu Khaldun mengatakan, “dalam kitab ini saya mengingat apa yang mungkin diingat tentang wilayah Maghribi dengan sangat terang benderang, karena tujuan spesifik saya berupa menulis sejarah Maghrib, generasi ke generasinya, bangsa-bangsanya, dan para rajanya, karena saya tidak mengetahui hal banyak tentang Timur dan bangsa-bangsa Timur,” (Muhammad Abdullah Annah, 1933: 56).
Baca juga: Habib Burguibah dan Sekularisasi Tunisia
Pemikiran Ibnu Khaldun sangat luas, mencakup kajian sosiologi, ekonomi, sejarah, dan keagamaan. Ilmu tentang filsafat sosialnya ini ia sebut dengan nama Al-Imran Al-Basyari (Teman Tinggal Manusia). Ilmu ini penting untuk menunjukkan kebenaran dan menghapus kebatilan tentang peristiwa-peristiwa sejarah. Mitos bisa disingkirkan dengan menampilkan fakta-fakta historis.
Bagi Ibnu Khaldun, masyarakat itu adalah alat untuk refleksi dan penelitian. Karenanya, penelitian tentang masyarakat bisa dimulai dari sejak awal mula tumbuh, lalu berkembang, kuat dan berkuasa, pada akhirnya masa keruntuhan. Semua itu bisa dilihat dengan kacamata ilmiah. Cara pandang ini berpengaruh pada metodologi historis yang dibangunnya.
Ibnu Khaldun lebih condong pada metode penulisan sejarah yang bersifat diakronik, bukan sinkronik. Ia mengharuskan penelitian pada peristiwa-peristiwa sosial yang terus-menerus berlangsung, tanpa perlu mengaitkannya dengan perjalanan waktu. Inilah yang akan menampilkan kehidupan sosial. Sedangkan peristiwa masa lalu dipahami sebagai sesuai yang mirip dengan peristiwa yang sedang berlangsung.
Ibnu Khaldun kemudian memaparkan banyak gagasan tentang ekonomi dan keuangan dalam kitab Mukadimah. Dia melihat standar hidup masyarakat dan proporsionalitasnya dengan membandingkannya terhadap jumlah dan kepadatan penduduk. Ia juga mempelajari harga kebutuhan, upah dan pekerjaan, serta menelitinya untuk memahami naik turunnya harga mereka menurut tingkat penawaran, permintaan, serta kesinambungan kota dengan urbanisasi (Sa'ad Qasim Hasyim, 1999: 231).
Tentang ilmu politik, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa pengeluaran pemerintah (APBN/APBD) merupakan faktor penting dalam perkembangan urbanisasi. Permintaan pemerintah adalah penggerak utama kegiatan ekonomi, dan pengembang utama masyarakat dari pertanian ke industri.
Negara dapat berkontribusi melalui pengeluaran publik untuk meningkatkan permintaan barang dan jasa. Dengan demikian negara memotivasi individu untuk melakukan lebih banyak investasi dalam memenuhi permintaan, seperti yang telah dilakukan pada masa pemerintahan Al-Ma'mun (Sa'ad Qasim Hasyim, 1999: 242).
Di bidang keagamaan, Ibnu Khaldun melihat bahwa agama sebagai fenomena sosial yang mendasar. Tidak ada masyarakat yang tidak terpengaruh oleh salah satu agama mana pun. Agama adalah persoalan psikologis metafisik. Sejatinya, Ibnu Khaldun mencoba mendamaikan pendapat filosofis dan doktrin agama. Ia percaya bahwa tidak boleh ada perbedaan pendapat di antara keduanya (Thaha Husain, 1925: 76).
Akhirnya, dalam Wisma Kedubes itu, penulis hanya bisa menarik napas dalam-dalam, setelah membayangkan betapa besar kontribusi Universitas Zaitunah pada dunia, dengan melahirkan tokoh besar seperti Ibnu Khaldun dan lainnya. Ketika penulis melihat mahasiswa-mahasiswi Universitas Zaitunah, penulis hanya bisa berharap kelak akan banyak pelajar muslim Indonesia yang melanjutkan pendidikan ke negeri ini, dan menjadi tokoh besar sekaliber Ibnu Khaldun dan lainnya.[]
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*_