Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Recep Tayyip Erdogan, Bapak Nasionalisme Islam Turki
Sejak awal mendirikan partai, visi politik Erdogan sangat jelas, yaitu nasionalisme. Mula-mula ia berusaha menegosiasikan posisi Turki.
Editor: Husein Sanusi
Recep Tayyip Erdogan, Bapak Nasionalisme Islam Turki
Catatan Perjalanan KH. Imam Jazuli, Lc. MA.*
TRIBUNNEWS.COM - Kiranya tidak perlu diperkenalkan lagi siapa Recep Tayyip Erdogan, Presiden Republik Turki kelahirain kota Guneysu, Provinsi Rize, Turki 1954.
Namanya membahana di saentero dunia, khususnya dunia muslim, termasuk Indonesia.
Karir politiknya dimulai dari tahun 2003 sampai 2014 ketika menjabat sebagai perdana menteri. Sebelumnya, dari 1994 sampai 1998, Erdogan sebagai mayor Istanbul.
Erdogan bukan politisi ecek-ecek. Ia pendiri AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi) tahun 2001, memimpin partai sampai meraih kemenangan pada pemilihan umum 2002, 2007, dan 2014.
Kemudian pada pemilu 2014 dan 2018, Erdogan terpilih sebagai Presiden Republik Turki. Ini bisa dibilang prestasi politik gemilang, dari pendiri partai, memenangkan partai, dan menjadi presiden dari partainya sendiri.
Sejak awal mendirikan partai, visi politik Erdogan sangat jelas, yaitu nasionalisme. Mula-mula ia berusaha menegosiasikan posisi Turki sebagai anggota Uni Eropa.
Kemudian membawa Turki keluar dari krisis ekonomi yang melanda tahun 2001. Banyak juga investasi masuk ke Turki di bidang infrastruktur, seperti pembangunan jalan, bandara, jalur rel kereta api cepat, dan lainnya.
Namun begitu, semakin tinggi sebuah pohon maka semakin kencang hantaman angin ujian. Sekalipun Erdogan jelas-jelas pengusung nasionalisme Turki, ada saja para pengkritiknya yang menghubungkan Erdogan dengan Fethullah Gulen maupun gerakan Gulen.
Baca juga: Fethullah Gulen, Reformisme, dan Nurcu Movement di Turki
Erdogan dianggap memiliki kedekatan yang sangat intim dengan afiliator Gulen yang menentang sekularisme di Turki maupun para elite militer.
Fethullah Gulen dan gerakannya dituduh sebagai teroris oleh pemerintah Turki, karena mendalangi pembersihan terhadap birokrat sekuler dan perwira militer melalui gerakan Balyoz tahun 2003 dan Ergenekon tahun 2006-2016 (Nick Tattersall, Erdogan's Ambitionn Weighs on Hopes for New Turkish Constitution, 2013). Dua gerakan ini sebagai respon terhadap kemenangan AKP. Idealnya, Fethullah Gulen dan Recep Tayyip Erdogan saling bermusuhan.
Dalam konteks ini, hemat penulis, faham nasionalisme yang diusung Recep Tayyip Erdogan adalah wujud paling matang dari Islamisme Fethullah Gulen.
Sebab, untuk mewujudkan nilai-nilai ajaran Islam tidak harus menampilkan simbol-simbol Islam vulgar ala Gulen. Boleh saja, spirit Islam diimplementasikan dengan cara-cara yang sekuler-nasionalis. Hal itu bisa kita lihat dari kebijakan politik Erdogan sendiri.
Ambil contoh kecilnya, Erdogan meresmikan Hagia Sophia sebagai Masjid, yang sebelumnya sebagai museum, pada tahun 2020.
Perubahan status dari musem ke masjid ini tidak didasarkan pada semangat Islamisme ala Gulen, melainkan atas nama nasionalisme atau kepentingan nasional tidak lagi dalam tekanan Eropa, mengingat saat zaman Kamal Attaturk perubahan Mesjid Hagia Shopia sebagai mesjid wakaf dari al Fatih menjadi Musium atas tekanan Eropa.
Dari sanalah Erdogan berbeda dari Gulen. Walaupun pada gilirannya umat muslim yang mendapatkan keuntungan dari perubahan status tersebut, itu atas nama nasionalisme, bukan agama.
Erdogan berani menyatakan bahwa Turki tidak akan menerima bantuan IMF (International Monitary Fund) pada tahun 2018. Kata Erdogan, "Turki menutup bab IMF dan tidak akan membukanya lagi," (Anadolu, 8 Oktober 2018). Kebijakan politik Erdogan ini bahkan tidak mampu dicontoh oleh negara-negara Islam lainnya. Bayangkan, negara Islam mana yang tidak meminta bantuan IMF?
Iran saja menyerah dan memilih menerima bantuan dari IMF.
IMF juga menyetujui memberikan bantuan 3 Miliar Dolar Amerika untuk Mesir.
Sementara Arab Saudi sudah menjadi anggota aktif IMF sejak tanggal 26 Agustus 1957 (www.imf.org).
Artinya, kebijakan Erdogan untuk menutup pintu bagi IMF merupakan spirit nasionalisme yang melampaui spirit Islamisme vulgar.
Dikatakan melampaui simbol Islamisme vulgar, kebijakan politik Erdogan betul-betul mampu membangkitkan kebanggaan nasional Turki.
Pada bulan Juni 2021, misalnya, Erdogan resmi memulai megaproyek Kanal Istanbul dengan anggaran Rp. 216,8 Triliun.
Kanal ini menjadi sangat penting karena selat Bosporus sendiri dikuasai Eropa, sehingga kapal-kapan yang melewatinya tidak menguntungkan bagi Turki di bidang perpajakan.
Kata Erdogan di suatu hari untuk menunjukkan nasionalismenya, "Hari ini kami membuka lembaran baru dalam sejarah perkembangan Turki.
Kami melihat Kanal Istanbul sebagai proyek untuk menyelamatkan masa depan istanbul, untuk memastikan keselamatan jiwa dan harta benda Bosporus dan warga sekitarnya.
Kebijakan politik Erdogan lainnya adalah Gerakan Teknologi Nasional. Gerakan ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas sumber daya manusia dan infrastruktur Turki, dengan menghasilkan produk teknologi tinggi secara nasional. Erdogan pernah mengatakan, "sejalan dengan tujuan ini, jumlah pusat teknologi di negara ini telah meningkatkan menjadi 92,"( www.aa.com.tr, 3 Juni 2022).
Sampai di sini, nasionalisme Recep Tayyip Erdogan adalah inti ajaran Islam tentang kebangsaan, yang kemudian mudah kita sebut dengan slogan “Hubbul Wathan minal Iman”.
Mencintai negeri adalah bagian dari Iman Islam. Untuk itulah, tuduhan bahwa Erdogan menjalin hubungan erat dengan Fethullah Gulen maupun Gerakan Gulen tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah.
Gulen dan Erdogan sama-sama mencintai negara mereka, Turki; membangkitkannya dari keterpurukan dibanding negara-negara Eropa.
Hanya saja, gerakan Gulen terlalu vulgar dalam mengusung semangat Islamismenya. Berbeda dengan Erdogan.
Semangat Islamisme dibungkus dengan nuansa Nasionalisme. Semua kebijakan Erdogan atas nama kepentingan nasional. Sementara di sisi lain, mencintai negara adalah ajaran Islam itu sendiri.[]
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*