Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Catatan Ketua MPR RI: Satu Dekade Reformasi Birokrasi dan Rangkaian Fakta Korupsi Terkini
Fakta-fakta tentang praktik mafia pada beberapa institusi negara sudah diketahui dan dilihat masyarakat, karena semuanya begitu jelas dan telanjang.
Editor: Content Writer
Oleh:
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Pendiri & Pembina Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA)/Dosen Tetap Fakultas Hukum Ilmu Sosial & Ilmu Politik (PHISIP) Universitas Terbuka/Mahasiswa Magister Hukum Universitas Jayabaya
TRIBUNNERS - Sorotan dan gunjingan publik menanggapi rangkaian skandal atau kasus yang terungkap pada sejumlah institusi negara setahun terakhir ini layak diterima sebagai cibiran, yang kemudian memunculkan pertanyaan tentang progres atau hasil reformasi birokrasi. Masyarakat sangat kecewa. Alih-alih mengarah pada terbentuknya pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clean goverment), hasil dari satu dekade reformasi birokrasi justru lebih menampilkan potret beberapa institusi negara yang sarat praktik mafia.
Fakta-fakta tentang praktik mafia pada beberapa institusi negara sudah diketahui dan dilihat masyarakat, karena semuanya begitu jelas dan telanjang. Ekses dari perilaku menyimpang banyak oknum birokrat itu pun sudah dirasakan langsung oleh sejumlah elemen masyarakat. Sebab, ada mafia tanah, mafia pajak, mafia narkoba, mafia judi, mafia hukum dan peradilan, mafia kehutanan, mafia tambang, mafia penyelundupan, mafia anggaran, mafia tender hingga mafia kedokteran.
Semua mafia itu bisa terbentuk karena memiliki keterkaitan dengan oknum birokrat pada institusi-institusi negara dengan segala wewenang dan kuasa yang melekat pada oknum bersangkutan. Para oknum birokrat pada sejumlah institusi negara itu mengingkari Tupoksi (tugas pokok dan fungsi)-nya.
Tak sekadar ingkar, banyak oknum pada beberapa institusi menggunakan wewenang dan kekuasaannya untuk menjadi bagian tak terpisah dari ragam tindak pidana korupsi. Salah satu contoh kasusnya adalah oknum pada institusi dengan Tupoksi menegakan hukum dan mengayomi masyarakat justru menjadi faktor penentu kekuatan yang merawat eksistensi mafia judi dan narkoba.
Akhir-akhir ini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dan pimpinan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) sedang memperjelas konstruksi kasus transaksi mencurigakan Rp349 triliun di kementerian keuangan, serta kejanggalan kasus transaksi emas senilai Rp 189 triliun di Ditjen Bea Cukai. Per angka atau nilai uang, tentu saja dua kasus kejanggalan ini sangat fantastis.
Seperti dipahami bersama, kedua kasus janggal di Kementerian Keuangan itu diungkap menyusul terbongkarnya kejanggalan nilai kekayaan mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak), Rafael Alun Trisambodo. Rafael sendiri sudah ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus gratifikasi, dan ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menyusul terungkapnya kasus Rafael, masyarakat pun ramai-ramai mengungkap dan menunjuk keluarga sejumlah oknum aparatur sipil negara (ASN) yang mempertontonkan gaya hidup sangat mewah. Pola hidup mewah sendiri sejatinya bukan aib. Persoalannya adalah bagaimana dan cara seperti apa yang ditempuh untuk membiayai pola hidup mewah itu.
Berpijak pada sejumlah kejanggalan itu, menjadi sangat relevan untuk dipahami ketika Menko Polhukam, Mahfud MD dalam sebuah kesempatan mengemukakan bahwa korupsi di Indonesia terjadi di berbagai sektor.
“Sekarang, saudara noleh ke mana saja ada korupsi kok. Noleh ke hutan, ada korupsi di hutan; noleh ke udara, ke pesawat udara, ada korupsi di Garuda (Indonesia); asuransi ada, koperasi korupsi, semuanya korupsi. Nah, ini sebenarnya mengapa dulu kita melakukan reformasi?” kata Mahfud.
Menko Mahfud tentu tidak sekadar membuat pernyataan tentang kecenderungan ini. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), pernyataannya berpijak pada data resmi hasil olahan institusi negara.
Dari ratusan surat PPATK tentang transaksi janggal Rp 349 triliun yang dikirimkan kepada Kementerian Keuangan, rasanya lebih dari cukup untuk melengkapi gambaran yang dikedepankan Menko Mahfud, utamanya tentang perilaku tak terpuji sejumlah oknum birokrat.
Disebutkan bahwa ada 64 surat terkait dengan pegawai bernilai Rp 13 triliun, 135 surat terkait dengan korporasi dan pegawai Kementerian Keuangan bernilai Rp 22 triliun, sebanyak 65 surat terkait transaksi perusahaan/korporasi bernilai Rp 253 triliun, dan 36 surat terkait dengan perusahaan/pihak lain dengan nilai Rp 61 triliun.