Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Catatan Bamsoet: Eskalasi Ketegangan di Laut China Selatan dan Dampaknya bagi Indonesia
Klaim Tiongkok atas LCS dengan sembilan garis putus-putus itu sejatinya mengganggu kepentingan Indonesia di Laut Natuna Utara.
Editor: Content Writer
ditulis oleh:
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Ketua Dewan Pembina Alumni Doktor UNPAD/Dosen Tetap Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Borobudur dan Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA)
TRIBUNNEWS.COM - Bersama para tetangga dalam Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Indonesia harus menanggapi eskalasi ketegangan di Laut China Selatan (LCS). Demi menjaga dan merawat stabilitas kawasan Asia Tenggara, tak ada pilihan lain bagi ASEAN kecuali mengerahkan kekuatan militernya untuk mengantisipasi dan menyusun ragam strategi yang diperlukan untuk merespons situasi terburuk.
Untuk keperluan itulah sepuluh negara anggota ASEAN (The Association of Southeast Asian Nations) telah bersepakat untuk menggelar latihan militer gabungan di Laut Natuna Utara, kepulauan Riau. Rencananya, latihan militer gabungan itu digelar pada September 2023, dan menghadirkan Timor-Leste sebagai anggota pemantau.
"Kami akan menggelar latihan militer bersama di Laut Natuna Utara," kata Panglima TNI Laksamana Yudo Margono.
Panglima TNI mengumumkan rencana ini usai menggelar pertemuan para Panglima Angkatan Bersenjata anggota ASEAN di Nusa Dua, Bali, Jumat (9/6/2023). Latihan ini akan berfokus pada keamanan maritim dan penyelamatan SAR, serta pelayanan sosial di wilayah Natuna. Seluruh angkatan bersenjata ASEAN, baik dari angkatan darat, angkatan laut, maupun angkatan udara, akan terlibat dalam latihan ini.
Tentu saja ada alasan atau pertimbangan sangat strategis yang mendorong para pejabat tinggi bidang pertahanan dari semua anggota ASEAN untuk menyepakati latihan gabungan militer itu. Dan, sangat menarik untuk dipahami lebih mendalam, karena agenda militer ini tercatat sebagai yang pertama kalinya pernah diinisiasi bersama oleh negara-negara di Asia Tenggara. Soalnya, sejak didirikan tahun 1967, ASEAN belum pernah menggelar latihan militer gabungan.
Eskalasi ketegangan di LCS tampaknya menjadi faktor paling relevan yang mendorong militer ASEAN bersepakat untuk memberi tanggapan, sekaligus mempersiapkan kekuatan yang diperlukan untuk menjaga dan merawat stabilitas Asia Tenggara.
Sejak berakhirnya perang Vietnam pada 1975, Asia Tenggara tercatat sebagai kawasan paling kondusif. Namun, ketegangan di LCS akhir-akhir ini berpotensi merusak kondusivitas itu, terutama karena hampir semua anggota ASEAN memiliki kepentingan di wilayah perairan itu.
Memang, ketika ketegangan di LCS terus meningkat akhir-akhir ini, ASEAN tidak bisa berdiam diri atau bersikap minimalis. Ketika perkembangan di LCS semakin tak terkendali, stabilitas Asia Tenggara akan terdampak karena beberapa anggota ASEAN akan tergerak untuk mempertahankan dan mengamankan kepentingannya di LCS.
Sebagaimana diketahui, sejak tahun 1947, Tiongkok mengklaim LCS sebagai wilayahnya. Tiongkok kemudian mempertegas klaim itu dengan membuat sembilan garis putus-putus (the nine-dash line). Tindakan Tiongkok itu ditentang oleh sejumlah anggota ASEAN. Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam juga mengklaim sebagian dari LCS sebagai wilayah mereka.
Salah satu indikator tentang eskalasi ketegangan di LCS bisa dibaca dari pernyataan pemimpin Tiongkok, Presiden Xi Jinping. Dalam forum pertemuan Komisi Keamanan Nasional Partai Komunis Tiongkok baru-baru ini, Presiden Xi meminta para pejabat tinggi keamanan nasional-nya untuk memikirkan skenario terburuk dan bersiap menghadapi ‘lautan badai’.
"Kompleksitas dan kesulitan masalah keamanan nasional yang kita hadapi sekarang telah meningkat secara signifikan," kata Xi pada pertemuan itu.
Bukan isu baru jika para pemimpin Tiongkok di Beijing selalu tidak nyaman karena merasa lingkungan internasional menunjukan perilaku kurang bersahabat. Setidaknya, tercatat ada dua masalah yang menyebabkan para elit di Beijing selalu terusik. Kalau dilihat dari rentang waktu, keduanya nyaris jadi masalah permanen.


Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.