Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Politik Ken Arok
Baru saja elite-elite Partai Demokrat mencak-mencak. Mereka merasa dikhianati oleh Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan calon presidennya, Anies.
Editor: Hasanudin Aco
Padahal, pada Pilpres 2014 dan 2019, PDIP-lah yang mengusung mantan Walikota Solo, Jawa Tengah, dan mantan Gubernur DKI Jakarta itu sebagai capres. Untuk Pilpres 2014, bahkan Megawati telah mengorbankan dirinya dengan tidak mencalonkan diri lagi, karena ada Jokowi yang elektabilitasnya meroket.
Untuk Pilpres 2024 nanti pun Megawati sudah banyak berkorban, dengan tidak mencalonkan putrinya, Puan Maharani, malah mencalonkan Ganjar karena Gubernur Jawa Tengah itu elektabilitasnya melesat.
Apakah pengorbanan demi pengorbanan Megawati itu akan disia-siakan oleh Jokowi, bahkan kemudian mengkhianatinya dengan mendukung capres selain Ganjar? Biarlah waktu yang bicara.
Hanya saja, jika Jokowi pun akhirnya mengkhianati PDIP dan Megawati, maka akan menambah panjang daftar politikus yang mengadopsi strategi politik ala Ken Arok dan Brutus.
Ken Arok dikutuk oleh Mpu Gandring akan terbunuh dengan keris yang dibuatnya hingga tujuh turunan, dan hal itu ternyata terbukti. Akankah kutukan Mpu Gandring kepada Ken Arok juga terjadi pada capres-capres di Indonesia?
Jika kita runut lebih jauh, Proklamator dan Presiden I RI Soekarno pun merasa dikhianati oleh Soeharto yang saat itu ia berikan mandat untuk memulihkan ketertiban dan keamanan nasional pasca-peristiwa Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
Pertanyaannya, sampai kapan politik ala Ken Arok itu terjadi di Indonesia?